Jumat, 24 Februari 2012

Dari Telur Menuju Sukses

Kembali ke tanah air tahun 1967, setelah bertahun-tahun di Eropa dengan pekerjaan terakhir sebagai karyawan Djakarta Lloyd di Amsterdam dan Hamburg, Bob, anak bungsu dari lima bersaudara, hanya punya satu tekad, bekerja mandiri. Ayahnya, Sadino, pria Solo yang jadi guru kepala di SMP dan SMA Tanjungkarang, meninggal dunia ketika Bob berusia 19.Modal yang ia bawa dari Eropa, dua sedan Mercedes buatan tahun 1960-an. Satu ia jual untuk membeli sebidang tanah di Kemang, Jakarta Selatan. Ketika itu, kawasan Kemang sepi, masih terhampar sawah dan kebun. Sedangkan mobil satunya lagi ditaksikan, Bob sendiri sopirnya.Suatu kali, mobil itu disewakan. Ternyata, bukan uang yang kembali, tetapi berita kecelakaan yang menghancurkan mobilnya. ”Hati saya ikut...

Lelaki Kunang-kunang

Suatu dini hari. Kelam melebarkan sayapnya. Merangkul jagad. Inilah saat yang benar-benar mengerikan, bagian dari waktu yang memiliki kekuatan penuh menerjemahkan tarin hening yang menggigit. Setiap tempat yang dikepung kelam adalah bentangan ketidaktahuan manusia atas sepenggal usianya yang diringkus oleh raksasa berwarna gelap. Pada saat seperti ini hening melingkup segala. Lindap. Tak ada suara yang kita kenal ada pada saat matahari ada. Tapi, bagi mereka yang melukis telinga kesunyian di dalam jiwanya, akan terdengar semut malam bernyanyi, melantun liris seperti desah angin yang tergesek pada daun-daun. Akan terdengar bagi mereka yang mencintai keheningan, bahwa malam lebih bernyawa mendesahkan suara-suara gaib, suara-suara yang menggema dari jantung sepi, bunyi-bunyian yang lebih merdu...

Merisik Calon Istri

Seorang gadis melenggak-lenggok berjalan dan melintas di depan mata Azizah. Gadis itu melemparkan senyum kepadanya. Dia pun membalas senyuman itu dengan membuka mulutnya sedikit hingga gigi serinya tampak nyata. Setelah gadis itu jauh dari pandangan, dilihatnya Aminah tak jauh dari tempat ia duduk di suatu ruangan.Dia rasa Aminah tahu tentang gadis yang telah mencuri perhatiannya itu. Sebab sebelum Aminah masuk ke dalam rumah, gadis itu berjalan bersama dia dan suaminya. Mungkin anaknya, dugaan Aziizah sementara. Akan tetapi, sepengetahuan dia enam anak yang dilahirkan Aminah berjenis kelamin pria. Mana mungkin itu anaknya. Mungkin itu anak angkatnya, lagi dia menduga. Namun, batinnya seakan tak percaya. Berpuluh-puluh tahun dia mengenal Aminah, tak pernah dia mendengar Aminah mengadopsi anak...

Sebutir Peluru Tak Mampu Membuat Mawar Layu

Jika punya kuasa melipat jarak dan waktu, aku ingin pulang sejenak ke masa lalu, mengabarkan pada ibu bahwa sebutir peluru tak mampu membuat mawar itu layu. Musim baru saja berganti. Langit mendung dan dingin mengepung. Seperti senja kemarin, aku kembali duduk di beranda, bersama segelas kopi dan sebungkus rokok. Menunggu gerimis pertama luruh di awal bulan ini. Bis kota yang miring ke kiri karena sarat penumpang berhenti persis di depan rumah. Lima orang bergiliran keluar dari pintu belakang. Seorang karyawan menjinjing tas kerja, dua pelajar SMU pulang sekolah, ibu separuh baya membawa bungkusan plastik hitam, dan gadis manis berpakaian modis. Letih campur cemas terpahat di wajah mereka saat melangkah di trotoar. Semoga hujan tak keburu tumpah sebelum tiba di rumah, mungkin begitu kata hati...

Sebungkus Cinta Untuk Alenda

Nasi dan obat mag ini harus sampai kepada Alenda secepatnya, tekad Nadia. Bagi gadis PMI ini sebungkus nasi dan obat mag di dalam tas plastik hitam itu ibarat "sebungkus cinta sejati" yang harus sampai kepada Alenda Rosi seutuhnya. Dan, itulah janjinya kepada pemuda yang terkena mag akut dan sedang terbaring di salah satu ruangan di dalam Gedung MPR itu.Tapi, bagaimana caranya, pikir Nadia. Gedung MPR sudah diblokade pasukan antihuru hara dengan pagar betis, truk-truk dan jeep militer. Bahkan, ada beberapa panser dan mobil anti huru hara yang dilengkapi 'meriam air' yang tampak begitu provoktif di mata gadis itu. "Ini benar-benar berlebihan. Mereka seperti menghadapi pemberontak saja," gumamnya.Nadia sendiri terjebak di tengah aksi unjuk rasa tidak jauh dari Gedung MPR. Dan, keadaan benar-benar...

Purnama Dibalik Cadar

Aku seperti melihat cahaya di balik cadar. Cahaya yang begitu kuat, menembus kain hijau lumut penutup wajah gadis semampai itu. Karena kuatnya, kadang-kadang cahaya itu menelan cadar sang gadis dan menyembullah bulatan bercahaya benderang bagai purnama menyelubungi kepalanya.Hari itu, gadis bercadar tersebut berada di tengah diskusi tentang emansipasi wanita di Ibnu Sina Auditorium, Universitas Al Azhar, Kairo. Sejak memasuki ruang diskusi, ia sudah memancarkan pesona tersendiri. Ia tampak tinggi semampai, jauh lebih tinggi dari rombongan gadis-gadis berjilbab yang masuk bersamanya. Cara jalannya juga gemulai, dengan sepatu berhak tinggi yang kadang-kadang menyembul di bawah jubah hijaunya.''Dia Salma Audina, dari Bandung,'' kata kawan di sebelahku, seorang mahasiswa Al Azhar, tahu aku memperhatikan...

Badai Laut Biru

SIANG  itu sangat terik. Matahari membakar pantai berpasir hitam hingga terasa membara. Tiang-tiang layar perahu bagai gemetaran dipermainkan angin dan ombak, hingga perahu-perau tua itu bagai menari-nari di bibir pantai. Namun, kehidupan para nelayan terus berjalan, dalam rutinitas, mengikuti kehendak sang alam.Di atas pasir hitam, tak jauh dari sebuah perahu yang terus menari, Kardi mengemasi bekal-bekal pelayaran, jala dan kail, juga keranjang-keranjang ikan, lalu menaikkannya ke geladak perahunya. Tiba-tiba ombak besar menghantam dinding perahu, sehingga terguncang keras. Kardi yang sedang berpegang pada bibir perahu hampir terpental.Karena guncangan itu, keranjang-keranjang yang dia tenteng terlepas dan hanyut terseret ombak. Dengan cepat Kardi mengejarnya dan berhasil meraihnya....

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Web Hosting Coupons