Seorang gadis melenggak-lenggok berjalan dan melintas di depan mata Azizah. Gadis itu melemparkan senyum kepadanya. Dia pun membalas senyuman itu dengan membuka mulutnya sedikit hingga gigi serinya tampak nyata. Setelah gadis itu jauh dari pandangan, dilihatnya Aminah tak jauh dari tempat ia duduk di suatu ruangan.
Dia rasa Aminah tahu tentang gadis yang telah mencuri perhatiannya itu. Sebab sebelum Aminah masuk ke dalam rumah, gadis itu berjalan bersama dia dan suaminya. Mungkin anaknya, dugaan Aziizah sementara. Akan tetapi, sepengetahuan dia enam anak yang dilahirkan Aminah berjenis kelamin pria. Mana mungkin itu anaknya. Mungkin itu anak angkatnya, lagi dia menduga. Namun, batinnya seakan tak percaya. Berpuluh-puluh tahun dia mengenal Aminah, tak pernah dia mendengar Aminah mengadopsi anak perempuan.
Seperti ada kontak jiwa dengan Azizah, Aminah yang berada beberapa langkah dari Azizah berjalan menuju ke arahnya. Hingga jarak di antara keduanya tinggal satu langkah. Keduanya kini bertatapan. Saling melemparkan senyum. Senyum Aminah menguatkan ingatannya dengan seorang gadis yang tersenyum kepadanya beberapa menit yang lalu. Spontan saja dia bertanya,
"Gadis yang baru saja lewat tadi tu, anak siapa?"
"Yang mana"
"Gadis yang datang bersama awak, tu lah. Dia tu anak awak ke?".
"Oh yang itu, dia tu bukan anak kami".
"Lantas anak siapa?,"
"Dia itu anak Sus, adik kami, memangnya kenapa, Kak?"
Azizah tersipu malu. Dua buah perkiraannya tak ada yang benar. "Ada apa dengan Kak Zizah. Tiba-tiba saja wajahnya sedikit memerah ketika aku bertanya demikian," Aminah membatin. Dia tak berani mengungkapkan isi batinnya apalagi menggesa Kak Zizah untuk menjawab. Namun, prasangkanya segera berjalan dan telah berani menebak maksud pertanyaan.
"Jangan-jangan, Kak Zizah mau menjodohkan anaknya dengan anak Sus" batinnya menduga. Dugaan Aminah bukan tak beralasan, mengingat ketiga anak prianya Kak Zizah belum ada yang menikah. Mungkin, pacaran sudah pernah. Dia lebih memilih bungkam untuk beberapa menit hingga Kak Zizah yang masih mempunyai tali persaudaraan dengannya itu buka mulut.
"Eh, dia tu dah ada yang punya tak,".
"Setahu saya tidak, ada apa kak?".
"Aku berkenan dengan anak tu, engkau mau tolong aku?"
"Selagi saya mampu mengapa tidak,"
"Tolong lah risikkan, cari tahu secara pasti apakah dia sudah ada yang punya, kalau belum aku mau dia menjadi pendamping anakku"
"Untuk anak kakak yang mana?"
"Ya, untuk siapa lagi, kalau bukan untuk anak aku yang sulung tu lah,"
"Baiklah, nanti kalau saya sudah dapat informasinya, saya telepon kakak,".
Dalam perjalanan pulang, Aminah asik tersenyum sendiri. Sang suami heran, tetapi tak mau bertanya apalagi memberi kritik. Biarlah, anggapnya, mungkin hatinya lagi senang. Bisa jadi fertigo-nya kambuh kalau sang suami memotong kebahagiannya itu.
Setibanya di rumah Aminah langsung mengabarkan kepada suaminya tentang niat Kak Zizah untuk merisik keponakannya itu. Dan nanti malam, dia mengajak suaminya untuk bersama-sama mencari sebuah kepastian. Bukan prasangka yang membuat manusia sering salah menafsirkan sesuatu yang bermula dari dugaan semata, melainkan investigasi mendalam layaknya seorang wartawan tabloid mingguan dalam mewawancarai seorang informan.
Sang suami menyambut gembira dan mengamini permintaan istri yang telah melahirkan enam orang anak itu. Dan, kini gantian sang suami yang tersenyum mendengar keponakannya mau dirisik alias penjajakan tahap pelamaran. Tapi, senyumya sejenak terhenti, memikirkan sesuatu yang sebenarnya antara penting dan tidak penting untuk dipikirkan. Pikiran aneh itu membuat hati Aminah yang tengah duduk di sofa bertanya, lantas mengeluarkannya lewat suara, "Mengapa, Bang?"
Kaget, sang suami terjaga dari pikiran yang telah membawa dia ke alam mimpi, ah, mungkin lebih tepatnya lagi di alam lamunan. "Setahu saya Era itu kan belum punya pacar otomatis itu merupakan lampu hijau buat kita. Tapi, bagaimana dengan Yusuf, bapaknya. Mau nggak menerima,". Ungkapan yang pesimis itu tak menyurutkan semangat Aminah, malah Aminah semakin optimis. Dan dia tetap tak memperdulikan apa yang terjadi nanti, yang penting niat baiknya itu akan dia tuangkan dengan lugas malam nanti.
"Bang, saya rasa itu bukan halangan terberat. Yang menjadi halangan terberat anak-nya itu mau atau tidak. Dia kan belum pernah melihat wajah anak Kak Zizah,". Si suami hanya menggelengkan kepala. Diam, tak memberi komentar, tetapi hati istrinya tetap bulat untuk mengutarakan isi hati Kak Zizah. "Lihat saja nanti" si suami tampak pasrah.
Malam pun tiba, Aminah menagih janji kepada sang suami untuk menemaninya ke rumah Sus adiknya. Tak ingin menambah dosa karena mengingkari apa yang telah diucapkannya siang tadi, si suami bergegas mengganti celananya dengan sarung sembari mengambil senter di kamar. Maklum, suasana malam sedang gelap gulita. Tak jauh jarak antara rumah Aminah dan Sus. Sekitar 25 langkah dari rumahnya.
"Bagaimana ya, kira-kira ponakanku itu mau nggak ya," buka suami di tengah perjalanan.
Awak (kamu) jangan pesimis, Aminah mengancam, sekarang kita hampir tiba di depan teras, jangan berbicara terlalu keras, nanti keburu diketahui. Jadi, berita ini bisa nggak kejutan lagi buat mereka.
"Assalamualaikum," ucap Aminah dan suaminya ketika berada di depan pintu.
"Waalaikumsallam" jawab Sus dan suaminya.
Bagi Sus dan suaminya, kedatangannya kakak sulungnya malam itu merupakan hal aneh, sehingga keduanya saling melirik sembari menyuruh kakak dan abang iparnya masuk. Dan ucapan basa-basi itu belum komplit kalau tidak ditambah dengan kata duduk. Aminah dan suaminya saling melirik dan Sus beserta suaminya semakin merasa aneh.
Tahu akan keanehan itu, keempat orang anaknya yang semula berada diruang tengah berdekatan dengan ruang tamu masuk ke markasnya masing-masing. Entah mengapa, mereka yang rajin menguping kala itu, segera menyingkir karena telah menebak ada ungkapan rahasia yang dibawa oleh om dan tantenya itu yang tidak boleh mereka dengarkan. Bukan karena mereka tak bisa menyimpan rahasia keluarga, tapi perasaan lah yang membawa mereka untuk tidak mendengar apa saja yang akan dibicarakan nanti
Sus dan suaminya duduk bersebelahan, menatap dengan kakak dan abang iparnya. Saling tersenyum sebelum melakukan pembicaraan. Aminah menoleh ke suaminya. Dia menaikkan alis matanya. Apa maksudnya. Suaminya belum mampu menangkap ungkapan kata yang diucapkan dari salah satu bagian organ tubuh. Aminah tak kehabisan akal. Supaya suaminya mengerti dia menggunakan telapak tangan dan mengayun-ayunkannya.
Akhirnya suaminya tahu, kalau istirinya menyuruh dia untuk mengawali pembicaraan. Tak panjang mukadimah yang suaminya paparkan, kebetulan basa-basi juga tak diperlukan untuk membahas masalah ini.
"Kemarin, kami berjumpa dengan Kak Zizah," buka suami Aminah.
"Lalu," suara suami Sus curiga.
"Kak Zizah bertanya kepada kami, apakah Rara sudah ada yang punya".
"Maksudnya pacar," Aminah menyambung.
"Kalau sudah mengapa dan kalau belum mengapa," tegas suami Sus.
Pasangan enam orang anak ini terdiam beberapa saat. Penegasan ini semula mereka anggap sebagai tekanan sekaligus penolakan terhadap pertanyaan yang mereka ajukan. Dan mereka tidak ingin membuat suasana menjadi tak nyaman. Mereka juga tak mau larut dalam lembah emosi karena ucapan miring yang sedikit membuat hati mereka teriris.
Karena bermaksud untuk menyampaikan amanah, ucapan itu pun tak mungkin untuk mereka gubris, Suami Aminah menanggapinya dengan dingin, "Intinya begini, Kak Zizah ingin menjodohkan anaknya dengan anak kalian. Kalau Rara sudah ada yang punya berarti batallah perjodohan ini, tetapi kalau belum Kak Zizah akan meneruskan proses merisik ini,".
Suami Sus tercengang. Bingung tak karu-karuan. Sus sendiri malah tenang. "Aduh gimana ya? dia kan masih muda. Rasa-rasanya dia belum pantas untuk menikah," tutur Suami Sus dalam keraguan.
"Umurnya sudah berapa sekarang?" tepis suami Aminah. Saking bingungnya suami Sus tak mengetahui dan tak berhasil mengingat berapa umur anak gadisnya itu. "Umur Rara berapa ya Sus?" tanyanya. Dengan tegas Sus menjawab 25. Aminah dan suaminya tercengang. Umur 25 dikatakan belum pantas untuk menikah. "Jadi, di usia keberapa Rara akan menikah," suami Aminah menyerang. Sus dan suaminya tak kuasa menjawab. Mereka salah tingkah dan mulai gelisah.
Meskipun begitu, Sus dan suaminya tak mau bertindak otoriter kepada anaknya. Dia ingin menanyakan terlebih dahulu kepada anaknya, walau dia ketahui dengan pasti dia belum ada yang punya. "Tengoklah nanti, apakah Rara-nya mau dijodohkan. Keputusannya sekarang bukan di tangan kami, tetapi ada sama Rara sendiri," ungkap suami Sus dengan bijak.
"Kalau begitu, baiklah. Hari pun sudah semakin larut. Kami permisi sekarang, mau pulang,". Sus dan suaminya mengantarkan kakak dan abang iparnya hingga di depan teras. Kepulangannya mereka meninggalkan sekelumit persoalan yang bisa menyenangkan dan menyakitkan. Menyenangkan apabila anak mereka menyetujui calon yang memang mereka anggap pantas untuk mendampingi anaknya. Menyedihkan kalau anaknya menolak, tetapi mereka tidak mau memaksakan kesenangan mereka dengan mengorbankan anaknya.
Untuk itu, setelah Aminah dan suaminya melangkah jauh Sus dan suaminya memanggil Rara untuk duduk bersama di ruang tamu dan menceritakan hal tersebut kepadanya. Rara terlihat malu-malu ketika mendengar penjelasan kedua orangtuanya itu. Namun, dari rasa malu-malu itu. Ayah, demikian Rara memanggil bapaknya telah mengetahui kalau anaknya itu suka, meskipun belum memandang wajah sang pria Setidaknya, ini adalah lampu hijau baginya. Sejak dia sepakat hampir setiap hari Sabtu dan Minggu anak sulung Azizah bertandang ke rumahnya. Dari Minggu ke Minggu, bulan ke bulan hingga mencapai waktu 2 tahun mereka pacaran. Akhirnya, mereka meningkatkan status mereka melalui proses resepsi pernikahan.
0 komentar:
Posting Komentar