Berkutat dengan lumpur dan terik matahari di tengah sawah, adalah keseharian yang dijalani Saein (41), sebuah nama yang sangat singkat dan sederhana. Sebagai petani sekaligus tenaga harian lepas/tenaga kontrak penyuluh pertanian pada Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Kecamatan Bukateja, Purbalingga, Saein setia menggeluti profesinya itu hingga sekarang.
Seandainya ia tetap menekuni profesinya sebagai peneliti pada Balai Penelitian Padi Sukamandi, Bogor, Jawa Barat, Saein mengakui ia sudah menjadi PNS golongan 3 atau bahkan 4, dan hidupnya tidak seperti sekarang. Namun panggilan hatinya berkata lain.
Bapak beranak dua yang juga sarjana alumnus Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) 1995 ini, lebih mencintai desa kelahirannya, Desa Bukateja, Kecamatan Bukateja, Purbalingga.
Ia pulang kampung membangun bidang pertanian di desanya, sejak tahun 1998. Tak banyak memang, sarjana yang berpikiran seperti Saein. Dan berkat kegigihannya memobilisasi ratusan petani di desanya untuk kembali ke pertanian organik yang ramah lingkungan, serta tekun melakukan serangkaian penelitian di lapangan, maka layak jika ia mendapat penghargaan. Jelasnya, di Balai Sarbini, Jakarta, Jumat (20/5) malam, ia meraih penghargaan kategori Inovasi Liputan6 Awards 2011. Ajang penghargaan bagi kaum berprestasi ini bertepatan dengan ulang tahun ke-15 Liputan 6 SCTV. Dan Saein, meraih penghargaan bergengsi itu untuk kategori inovasi.
Direktur Program dan Produksi SCTV Harsiwi Achmad mengemukakan, begitu banyak tokoh dan pelaku peristiwa yang menjadi obyek berita di media, namun hanya segelintir yang sesungguhnya mampu menjadi inspirasi positif bagi masyarakat. Banyak tokoh dan individu yang hebat, berprestasi, berdedikasi, dan memiliki visi luar biasa namun luput dari perhatian masyarakat. Salah satu tokoh itu adalah Saein, penemu varietas padi Mutiara, yang merupakan varietas padi bibit unggul dan terbukti sangat menguntungkan petani.
Sebelumnya, Saein pernah meraih Kehati Award 2009. Kehati Award merupakan penghargaan tertinggi yang diberikan oleh Yayasan “Kehati” kepada perseorangan maupun kelompok/organisasi, yang telah melakukan upaya dan karya luar biasa untuk mendukung pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia.
Saein menceritakan, begitu tamat dari IPB Bogor tahun 1995, ia bekerja sebagai peneliti di Balai Penelitian Padi Sukamandi, Bogor dengan status honorer. Merasa bukan dunianya berkutat di laboratorium penelitian, akhirnya ia hanya bertahan setengah tahun, lalu menyatakan ke luar. Selanjutnya ia pindah kerja sebagai tenaga lapangan di proyek PengendalianHama Terpadu (PHT) IPB. Di tempat kerja terakhir itu, hanya bertahan dua tahun. Panggilan hatinya berkata, ingin pulang kampung, membangun bidang pertanian di desanya, Bukateja.
“Ayah saya dan keluarga saya semuanya petani. Saya tahu suka duka hidup sebagai petani. Berbekal ilmu dari kuliah di IPB, dan pengalaman meneliti, akhirnya saya bertekad bulat pulang kampung. Itu terjadi tahun 1998,” ujar Saein ketika ditemui di kantor Balai Penyuluh Pertanian Bukateja, Purbalingga.
Berbekal sawah warisan dari orang tuanya seluas 0,8 hektar yang berada di Dusun Bukateja Kulon dan Gual Lele Desa Bukateja, Kecamatan Bukateja, Purbalingga, Saein hidup sebagai petani. Namun bukan sembarang petani biasa yang ia lakoni.
Tak bergantung pada bantuan pemerintah atau asing, ia merogoh koceknya sendiri yang ia sisihkan dari hasil tak seberapa sebagai petani untuk riset pupuk dan pestisida organik, serta bibit padi. Bagi Saein, segala karya dan temuannya dicurahkan sepenuhnya untuk para petani di kampungnya. Saein berupaya mengembangkan pertanian ramah lingkungan, dengan membuat pupuk dan pestisida organik.
Konkretnya, lewat Kelompok Tani Gemah Ripah yang ia menjadi pengurusnya, Saein mengajak para petani untuk perlahan-lahan atau meminimalisir penggunaan bahan kimia. Jelasnya, ia mengembangkan paket teknologi pertanian ramah lingkungan. Misalnya, memanfaatkan mikroba akar bambu yang diolah sedemikian rupa dengan bekatul, gula, nira, trasi, dan kapur sirih untuk dibuat pupuk hayati. Manfaat dari pupuk hayati ini, ujar Saein, memacu pertumbuhan tanaman, dan mencegah penyakit.
Selain itu, untuk membunuh hama penyakit, Saein mengajarkan kepada para petani dengan cara alami. Yakni memanfaatkan umbi gadung, kulit kayu semboja (kamboja), tembakau, biji mimba, biji sirsak, akar tuba, buah kecubung, bunga krisan, Brantawali, sambilata, daun mimba, buah maja, cuka, arang sekam, abu, kapur dan sebagainya. Bahan-bahan alami itu dihancurkan sampai halus, lalu dicampur air dan disemprotkan ke tanaman.
Penemu Bibit Varietas Padi Mutiara
Perlahan namun pasti, ratusan petani di Bukateja kini banyak yang meniru langkah Saein ini. Saein juga tak mengenal lelah untuk melakukan serangkaian penelitian di lapangan. Yakni melakukan penyilangan beragam varietas padi unggulan yang menghasilkan 10 varietas padi baru. Salah satunya diberi nama “Mutiara“, hasil persilangan padi Wulung danPandanwangi. Diberi nama “Mutiara”, karena bentuk berasnya bulan lonjong seperti mutiara, dan warnanya mengkilat.
Varietas “Mutiara” temuan saein ini memiliki sejumlah keunggulan. Yakni sangat hemat pupuk, tahan penyakit busuk daun, produksinya tinggi (rata-rata 6,7 ton per hektar dan produksi tertinggi 8,4 ton/hektar), butiran beras tidak mufah patah, tahan wereng, rasa nasinya pulen, dan rendemannya tinggi. Untuk tingkat rendeman tinggi ini, jika diselep di mesin penggilingan padi, gabah 1 kuintal dari varietas padi “Mutiara” bisa menghasilkan 65-67 kg.
Tanpa bermaksud mengkomersialkan diri, dan tetap mengedepankan aspek sosial, bibit padi varetas “Mutiara” itu kini juga dijual di rumah Saein di Jl. Kecombron No. 2 RT/RW 02/VI Desa Bukateja, Kecamatan Bukateja, Purbalingga. Ia jual per kg seharga Rp 7000,-. Sistem penjualannya secara gethok tular ari mulut ke mulut. Mengingat Saein juga sering diundang untuk menularkan kepiawaiannya itu hingga ke berbagai kota seperti di Jogja, Jabar dan Jatim, maka varietas padi Mutiara itu pun kian dikenal.
Sayangnya, varietas padi itu belum bersertfikat. Saein mengaku, kendala biaya dan birokrasi yang menjadikan ia belum mengurus sertifikat untuk padi temuannya itu. Sejumlah petani mengakui, berkat kiprah Saein, ratusan petani di Bukateja kini bisa merasakan manfaatnya. Para petani pun tak segan menyediakan lahan uji coba secara gotong royong. Untuk Saein sendiri, dari 0,8 hektar lahan miliknya, sekitar 20 ubin digunakan untuk riset dan penelitian.
“Dari apa yang sudah saya lakukan, saya melihat kini kehidupan petani di lingkungan saya sudah terlihat lebih sejahtera, seiring makin berkurangnya ketergantungan mereka terhadap benih padi dan pupuk yang terus melambung mahal,” ujar Saein yang berprofesi sebagai tenaga kontrak penyuluh pertanian sejak tahun 2007 ini.
Saein memang sosok petani intelek yang tak kenal lelah. Ia yang belakangan tinggal di Desa Penaruban, Kecamatan Kaligondang, Purbalingga -istrinya Sri Lestari asli Desa Penaruban- setiap hari harus bolak-balik sejauh kurang lebih 30 km pulang pergi, demi untuk memajukan pertanian di wilayah Kecamatan Bukateja dan sekitarnya. Ia pun terus melakukan riset dan penelitian. Bukan untuk mencari pengakuan diri, tapi semata-mata untuk kemandirian para petani di sekelilingnya.
Ia juga mengaku tak terlalu berharap sebagai PNS, mengingat usianya kini sudah 41 tahun.Ia juga pasrah, apakah kontraknya sebagai tenaga penyuluh pertanian yang akan berakhir 17 September 2011 akan diperpanjang oleh pemerintah atau tidak. Yang jelas, ia bersyukur bisa hidup sebagai petani dan tenaga tenaga penyuluh pertanian lapangan dengan honor Rp 2 juta/bulan. Ketika pada tahun 2010 honor yang ia terima telat sampai berbulan-bulan pun, kenyataan itu diterima apa adanya.
“Jalani hidup apa adanya. Hidup itu ibadah. Saya ingin mengamalkan ilmu itu sebagai ibadah, demi memajukan nasib petani di lingkungan saya,” ujar Saein.
===================================================================================Kisahmu akan selalu jadi suri tauladan terindah bagi para pemuda yang mengenal sosok mu duhai Sang Profesor
0 komentar:
Posting Komentar