Jumat, 24 Februari 2012

Dari Telur Menuju Sukses

Kembali ke tanah air tahun 1967, setelah bertahun-tahun di Eropa dengan pekerjaan terakhir sebagai karyawan Djakarta Lloyd di Amsterdam dan Hamburg, Bob, anak bungsu dari lima bersaudara, hanya punya satu tekad, bekerja mandiri. Ayahnya, Sadino, pria Solo yang jadi guru kepala di SMP dan SMA Tanjungkarang, meninggal dunia ketika Bob berusia 19.
Modal yang ia bawa dari Eropa, dua sedan Mercedes buatan tahun 1960-an. Satu ia jual untuk membeli sebidang tanah di Kemang, Jakarta Selatan. Ketika itu, kawasan Kemang sepi, masih terhampar sawah dan kebun. Sedangkan mobil satunya lagi ditaksikan, Bob sendiri sopirnya.
Suatu kali, mobil itu disewakan. Ternyata, bukan uang yang kembali, tetapi berita kecelakaan yang menghancurkan mobilnya. ”Hati saya ikut hancur,” kata Bob. Kehilangan sumber penghasilan, Bob lantas bekerja jadi kuli bangunan. Padahal, kalau ia mau, istrinya, Soelami Soejoed, yang berpengalaman sebagai sekretaris di luar negeri, bisa menyelamatkan keadaan. Tetapi, Bob bersikeras, ”Sayalah kepala keluarga. Saya yang harus mencari nafkah.”
Suatu hari, temannya menyarankan Bob memelihara ayam untuk melawan depresi yang dialaminya. Bob tertarik. Bob menerima pemberian 50 ekor ayam ras dari kenalannya, Sri Mulyono Herlambang. Ketika beternak ayam itulah muncul inspirasi berwirausaha. Bob memperhatikan kehidupan ayam-ayam ternaknya. Ia mendapat ilham, ayam saja bisa berjuang untuk hidup, tentu manusia pun juga bisa. Sebagai peternak ayam, Bob dan istrinya, setiap hari menjual beberapa kilogram telor. Dalam tempo satu setengah tahun, ia dan istrinya memiliki banyak langganan, terutama orang asing, karena mereka fasih berbahasa Inggris. Bob dan istrinya tinggal di kawasan Kemang, Jakarta, di mana terdapat banyak menetap orang asing.
Tidak jarang pasangan tersebut dimaki pelanggan, babu orang asing sekalipun. Namun mereka mengaca pada diri sendiri, memperbaiki pelayanan. Perubahan drastis pun terjadi pada diri Bob, dari pribadi feodal menjadi pelayan. Setelah itu, lama kelamaan Bob yang berambut perak, menjadi pemilik tunggal super market (pasar swalayan) Kem Chicks. Ia selalu tampil sederhana dengan kemeja lengan pendek dan celana pendek.
Bisnis pasar swalayan Bob berkembang pesat, merambah ke agribisnis, khususnya holtikutura, mengelola kebun-kebun sayur mayur untuk konsumsi orang asing di Indonesia. Karena itu ia juga menjalin kerjasama dengan para petani di beberapa daerah.
Bob percaya bahwa setiap langkah sukses selalu diawali kegagalan demi kegagalan. Perjalanan wirausaha tidak semulus yang dikira. Ia dan istrinya sering jungkir balik. Baginya uang bukan yang nomor satu. Yang penting kemauan, komitmen, berani mencari dan menangkap peluang.
Di saat melakukan sesuatu pikiran seseorang berkembang, rencana tidak harus selalu baku dan kaku, yang ada pada diri seseorang adalah pengembangan dari apa yang telah ia lakukan. Kelemahan banyak orang, terlalu banyak mikir untuk membuat rencana sehingga ia tidak segera melangkah. “Yang paling penting tindakan,” kata Bob.

Dari sini Bob menanjak: Ia berhasil menjadi pemilik tunggal Kem Chicks dan pengusaha perladangan sayur sistem hidroponik. Lalu ada Kem Food, pabrik pengolahan daging di Pulogadung, dan sebuah ”warung” shaslik di Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta. Catatan awal 1985 menunjukkan, rata-rata per bulan perusahaan Bob menjual 40 sampai 50 ton daging segar, 60 sampai 70 ton daging olahan, dan 100 ton sayuran segar.
”Saya hidup dari fantasi,” kata Bob menggambarkan keberhasilan usahanya. Ayah dua anak ini lalu memberi contoh satu hasil fantasinya, bisa menjual kangkung Rp 1.000 per kilogram. ”Di mana pun tidak ada orang jual kangkung dengan harga segitu,” kata Bob.
Om Bob, panggilan akrab bagi anak buahnya, tidak mau bergerak di luar bisnis makanan. Baginya, bidang yang ditekuninya sekarang tidak ada habis-habisnya. Karena itu ia tak ingin berkhayal yang macam-macam.
Haji yang berpenampilan nyentrik ini, penggemar berat musik klasik dan jazz. Saat-saat yang paling indah baginya, ketika shalat bersama istri dan dua anaknya.

Lelaki Kunang-kunang

Suatu dini hari. Kelam melebarkan sayapnya. Merangkul jagad. Inilah saat yang benar-benar mengerikan, bagian dari waktu yang memiliki kekuatan penuh menerjemahkan tarin hening yang menggigit. Setiap tempat yang dikepung kelam adalah bentangan ketidaktahuan manusia atas sepenggal usianya yang diringkus oleh raksasa berwarna gelap. Pada saat seperti ini hening melingkup segala. Lindap. Tak ada suara yang kita kenal ada pada saat matahari ada. Tapi, bagi mereka yang melukis telinga kesunyian di dalam jiwanya, akan terdengar semut malam bernyanyi, melantun liris seperti desah angin yang tergesek pada daun-daun. Akan terdengar bagi mereka yang mencintai keheningan, bahwa malam lebih bernyawa mendesahkan suara-suara gaib, suara-suara yang menggema dari jantung sepi, bunyi-bunyian yang lebih merdu dan nadanya berirama seperti sajak yang berdentingan dari nafas Tuhan.Dari langit yang jauh, pada saat kelam mengepung itu, terlihat rumah-rumah terhampar acak pada suatu wilayah di kejauhan di bawah. Rumah-rumah itu tampak sepert serakan batu kerikil berwarna hitam di suatu tanah lapang. Adakalanya rumah-rumah itu juga tampak seperti butir-butir mutiara yang berkilauan, sebab dari setiap rumah memancar cahaya lampu serambi yang sengaja tidak dipadamkan pada malam hari. Tapi jika perhatian lebih seksama ditujukan pada atapnya, maka ruma-rumah itu tampak seperti pemandangan aneh menyerupai sisik kasar manusia tua yang berteriak-teriak memanggil maut, berseru-seru agar nyawanya dicabut. Manusia yang sudah bersisik kasar selalu memang merasa nyawanya tiada lagi berarti sehingga mereka sering berharap lekas-lekas mati.
Jalan, lorng dan setiap gang yang membelah dan memilah setiap rumah dikejauhan dibawah itu tampak seperti garis-garis resah di atas sebuah peta negeri yang sekarat. Di atasnya, sesekali motor dan mobil melintas seperti tak peduli pada malam yang sesungguhnya amat berbahaya bagi mereka yang takut pada kegelapan. Dan, cahaya yang berhamburan dari lampu-lampu kendaraan itu melesat seperti kunang-kunang ajaib. Kunang-kunang semacam itu diutus untuk tidak pernah dilihat manusia kecuali mereka yang gemar menantang malam. Ia selalu terbang pada malam hari, pada saat makhluk-makhluk lain tertidur pulas merangkai mimpi dari rasa lelah yang dibaringkan di atas ranjang. Dan kini, kunang-kunang itu muncu dari sebuah tempat yang gelap di ketinggian. Ia terbang menukik agak lambat menuju rumah-rumah yang terhampar di bawah. Ia terbang berkitar-kitar hendak memilih rumah mana yang akan dikunjunginya. Setelah agak lama terbang berputar-putar, kunang-kunang itu bergerak menuju sebuah rumah yang terletak di ujung sebuah jalan, lalu masuk ke dalamnya.
Di dalam rumah itu, seorang lelaki muda masih terjaga dan duduk di atas sebuah kursi yang agak reot. Ia sedang membaca sebuah buku yang terletak di atas mejanya yang juga sudah mulai lapuk. Lihat, sesekali lelaki itu mengerutkan kening lalu mencatatkan sesuatu setelah agak lama berfikir. Selain buku yang sedang dibacanya, masih ada buku-buku lain yang masih berserak di atas meja itu. Sementara, lantai penuh dengan sobekan-sobekan kertas yang berserak dengan sangat amburadul. Di dalam asbak yang terbuat dari tanah liat, menumpuk abu dan puntung-puntung rokok yang barangkali lupa dibuang lelaki itu. Di dinding kamar itu terpajang beberapa lukisan cat air di atas media karton. Lukisan-lukisan itu merupakan buah karya dari tangannya sendiri, warna lukisan itu terkesan agak menguning, barangkali asap rokok telah begitu banyak menyerap ke dalam medianya.
Lihat, lelaki itu melemparkan bukunya ke kolong tempat tidur. Ia lalu mengambil secarik kertas dan sebuah pena. Kemudian ia menuliskan sesuatu di atas kertas itu dan sesekali menusuk-nusuk pena itu ke pelipisnya. Tahukah kau, orang-orang menyebut lelaki itu si ‘penyair gila'. Tapi, ada manusia-manusia gila yang justru menyebut lelaki itu sebgai ‘orang yang belajar nabi'.
Ketika aku mengunjungi lelaki itu, ia terkejut dan buru-buru bertanya untuk ihwal apa aku datang mengunjunginya.
‘'Aku senang kau datang meski kuakui pekerjaanku terganggu dengan kehadiranmu, tapi aku senang. Kaulah satu-satunya sahabat yang paling mengerti aku. Ada apa, kawan?'' tanyanya.
‘'Maaf jika memang mengganggu. Aku hanya ingin tahu, apa gerangan yang kau tulis?'' tanyaku. Tapi setelah mengucapkan kata-kata itu, aku mendadak merasa bodoh dan malu pada diri sendiri. Sebab kedatanganku yang sesungguhnya bukan untuk mengetahui sedang menulis apa lelaki itu. Lagipula bagaimana mungkin aku tahu dia sedang menulis di rumahnya? Meskipun dia seroang penyair, menyimpulkan ia selalu menulis adalah dugaan yang bisa sangat salah. Tapi untunglah lelaki itu tidak begitu peduli dengan pertanyaanku yang ceroboh itu. Dia lalu berkata bahwa ia sedang menulis sebuah cerita.
‘'Cerita ap?'' aku bertanya.
‘'Cerita tentang kunang-kunang ajaib. Katamu kau ingin tahu sedang menulis apa aku. Maka, jika kau ingin mendengarnya, aku akan membacakannya bagimu.''
Entah mengapa, ketika berkata demikian, aku merasa bahwa lelaki itu merupakan pencerita yang hebat dan sangat terkenal sehingga aku merasa sangat perlu dan bangga sekali jika ia membacakan ceritanya padaku.
‘'Dengan senang hati aku akan mendengarnya. Bacakanlah!'' kataku akhirnya, setengah meminta.
Mata lelaki itu menceritakan ini
‘' Ada seorang lelaki muda yang tiba-tiba mengubah wujudnya menjadi kunang-kunang. Di suatu tempat. Yah, di suatu tempat dimana waktu hanya terdiri dari huruf-huruf yang mengkristal jadi sajak lelah. Lelaki itu merasa bahwa waktu ataupun sajak-sajak lelah itu selalu melingkar membungkus tubuh, mengepak nafas, meringkus gerak dan membekap jalan pikirannya. Ia mengubah dirinya jadi kunang-kunang supaya bisa lari dan keluar dari lingkaran yang menjerat serupa penjara gelap itu. Dengan menjadi kunang-kunang, tubuhnya akan menjadi suluh bagi dirinya untuk keluar dan lari dari lingkaran itu. Maka terbanglah ia menerjang seluruh arah, sudut dan permukaan segala yang berwujud. Setelah ia berada di luar lingkaran, ia merasa bebas sebab tak akan dialaminya lagi perjalanan di sisi lingkaran yang selalu menghantamnya pada titik yang sama secara berulang-ulang.
‘'Maaf,'' kataku menyela, ‘'Aku tak faham apa kandungan ceritamu.''
‘'Haha...,'' lelaki itu tertawa, dan melanjutkan, ‘'aku sedang bercerita soal waktu, kawan. Kau tahu, waktu adalah lingkaran. Hidup kita hanya terdiri dari perjalanan berulang-ulang di sisi lingkaran demi mengurangi waktu. Kita berangkat dari satu titik ke titik lain tapi akan tetap tiba pada titik yang sama pada akhirnya. Lihat, pada pagi hari kau bangun dan tidur pada malam hari. Dan itu akan berulang-ulang kau lakukan tanpa perlawanan. Jika kau merasa lapar, kau akan makan. Jika lapar lagi, kau akan makan lagi. Kau meninggalkan rumah pada waktu-waktu tertentu dan akan tetap kembali ke rumah sejauh apapun kau berkelana. Yah, hidup kita mengarungi waktu persis seperti ketika kita mengelilingi lingkaran. Jika suatu waktu kau tertawa, kau akan diam setelahnya. Jika suatu waktu kau menangis, kau akan diam sesudahnya.''
‘'Cukup-cukup kawan,'' kataku menyela, ‘'Sekarang aku paham apa maksudmu. Tapi apakah kau merasa mampu melepaskan diri dari ringkusan waktu?''
‘'Oh, tentu. Hal itulah yang menjadi bagian lanjut dari cerita yang kutulis ini. Apakah kau masih tertarik mendengarnya?''
‘'Yah. Ceritakanlah!''
‘'Lelaki kunang-kunang itu, suatu malam, seperti mendengar bisikan yang menyuruhnya untuk tidak hanya keluar dari lingkaran waktu, tapi juga harus mampu menghentikan waktu. Maka ia bersemedi, memejamkan mata, mengumpulkan kekuatan pikiran, llu berpikir keras mencari tahu bagaimana caranya menghentikan waktu. Tapi di tengah persemedian yang dalam itu, segala kekuatannya tercerai berai dihantam bunyi jam dinding yang berdetak memecah keheningan pada malam itu. Diambilnya jam itu lalu dihempaskannya ke lantai. Jam itu pecah menjadi puing-puing. Saat itulah lelaki itu merasa ada gemuruh yang mendadak di kepalanya. Jawaban tentang bagaimana membunuh waktu tiba-tiba masuk ke ceruk otaknya.''
‘'Apa itu?'' tanyaku tidak sabar.
‘'Ia harus menghentikan seluruh aktivitasnya yang berhubungan dengan waktu. Itulah satu-satunya cara membunuh waktu.''
‘'Menghentikan seluruh aktivitas?'' tanyaku agak ngeri, ‘'itu tidak mungkin, kawan. Kau barangkali sedang tidak waras.''
‘'Ya, ini memag ide gila. Tapi kita harus berani menjadi gila demi mengelak dari takdir bernama waktu yan selalu mempermainkan kita dengan sangat keparat,'' katanya.
‘'Jika begitu, teruskanlah kegilaanmu, tuntaskan cerita itu,'' kataku setengah jengkel dan segera bergegas meninggalkan lelaki itu.
Esok harinya, pagi-pagi benar, aku sudah berada di rumah lelaki itu. Seperti ada kekuatan aneh yang mendesak aku untuk pergi ke rumahnya. Kudapati lelaki itu masih saja terjaga.
‘'Ini sudah pagi, tapi kau belum juga tidur, kawan,'' kataku.
‘'Aku tidak lagi ingin tidur. Kau tahu, aku juga sudah berhenti mandi, tidak lagi ganti pakaian, tidak lagi makan dan minum. Itulah caraku menghentikan waktu, dan karena waktu sudah kuberhentikan, maka rasa lapar telah hilang, rasa haus tiada lagi. Aku juga tak perlu lagi menikmati udara luar, melihat matahari atau berbaur dengan manusia-manusia dungu di luar sana.''
‘'Aku tidak percaya,'' kataku
‘'Kau boleh tidak percaya, tapi itulah jalan hidup yang dipilih lelaki kunang-kunang dalam cerita yang kutulis tadi malam. Aku juga sedang belajar mengadaptasi pola hidup semacam itu, juga kau. Kita semua harus melakukannya, sebab pilihan itu bersumber dari penglihatan Illahi semacam wahyu.''
‘'Benarkah?''
Ya, katanya. Lalu ihwal ini diceritakannya.
‘'Suatu malam, lelaki itu merasa bahwa ia berada di langit. Ia melihat rumah-rumah terhampar acak pada suatu wilayah. Rumah-rumah itu tampak batu-batu yang berserak di suatu tanah lapang, dan terkadang seperti butir-butir mutiara yang berkilauan, sebab rumah-rumah itu memiliki lampu serambi yang sengaja tidak dimatikan pada malam hari. Ia melihat atap rumah-rumah itu seperti pemandangan aneh, seperti sisik kasar manusia tua yang bosan mengutuk maut yang tidak juga datang mencabut nyawanya.
Jalan, lorong dan setiap gang yang membelah dan memilah setiap rumah di kejauhan di bawah itu tampak seperti garis-garis di atas peta sebuah negeri yang sekarat. Sesekali motor dan mobil melintas seolah tak peduli pada tikaman malam yang sesungguhnya amat berbahaya bagi mereka yang takut pada kegelapan. Cahaya yang menghambur dari lampu-lampu kendaraan itu tampak seperti kunang-kunang...
‘'Cukup, cukup, kawan. Kau sedang menyindir aku. Tapi, bagaimana kau tahu bahwa aku pernah berfantasi seperti itu?''
‘'Haha,'' lelaki itu tertawa.'' jangan bodoh, kawan. Kita adalah satu. Kau adalah aku. Kunang-kunang itu adalah kita.
Sejenak lelaki itu menghentikan pembicaraannya , mulai menangis, dan aku juga menangis, persis seperti tangisannya. Aku tahu aku tak lagi hidup. Aku tahu lelaki itu adalah aku. Aku tahu kunang-kunang itu adalah harapan-harapanku.
Pada saat itu, pintu tiba-tiba didobrak dan beberapa petugas kepolisian masuk ke rumahku.
Di luar, aku dengar orang-orang sudah ramai dan kasak-kusuk membicarakan sesuatu. Salah seorang dari orang ramai itu bertanya kepada polisi tentang apa yang terjadi. Tapi polisi itu tidak menjawab, ia hanya berkata bahwa kasus bunuh diri telah terjadi.
Esok harinya, koran-koran menulis; seorang lelaki muda ditemukan tewas di dalam kamarnya. Tidak ada indikasi yang mengarah pada dugaan bunuh diri, ataupun penganiayaan. Kematian lelaki itu benar-benar terasa ganjil. Para penyidik mengatakan lelaki itu mungkin terindroktrinisasi oleh teori waktu. Dugaan ini didasarkan atas ditemukannya banyak buku tentang waktu di dalam kamarnya. Waktu adalah lingkaran, begitu tulis lelaki itu di atas secarik kertas. Formulasi ini diduga kuat telah meracuni otaknya sehingga seluruh aktivitas yang memang berlangsung seurut waktu, dihentikan lelaki itu dengan sangat berani, termasuk makan dan minum.
Dan aku, aku sendiri pergi menjauh, menyeret langkah, berjalan tanpa arah yang pasti. Aku tahu aku dirasuki sesal. Tapi sadar akan ketidakmungkinan untuk kembal ke kehidupan semula, aku tertawa. Aku terbahak-bahak menyaksikan anekdot kematian yang kuciptakan sendiri untuk diriku.

Februari 2012

Merisik Calon Istri

Seorang gadis melenggak-lenggok berjalan dan melintas di depan mata Azizah. Gadis itu melemparkan senyum kepadanya. Dia pun membalas senyuman itu dengan membuka mulutnya sedikit hingga gigi serinya tampak nyata. Setelah gadis itu jauh dari pandangan, dilihatnya Aminah tak jauh dari tempat ia duduk di suatu ruangan.
Dia rasa Aminah tahu tentang gadis yang telah mencuri perhatiannya itu. Sebab sebelum Aminah masuk ke dalam rumah, gadis itu berjalan bersama dia dan suaminya. Mungkin anaknya, dugaan Aziizah sementara. Akan tetapi, sepengetahuan dia enam anak yang dilahirkan Aminah berjenis kelamin pria. Mana mungkin itu anaknya. Mungkin itu anak angkatnya, lagi dia menduga. Namun, batinnya seakan tak percaya. Berpuluh-puluh tahun dia mengenal Aminah, tak pernah dia mendengar Aminah mengadopsi anak perempuan.
Seperti ada kontak jiwa dengan Azizah, Aminah yang berada beberapa langkah dari Azizah berjalan menuju ke arahnya. Hingga jarak di antara keduanya tinggal satu langkah. Keduanya kini bertatapan. Saling melemparkan senyum. Senyum Aminah menguatkan ingatannya dengan seorang gadis yang tersenyum kepadanya beberapa menit yang lalu. Spontan saja dia bertanya,
"Gadis yang baru saja lewat tadi tu, anak siapa?"
"Yang mana"
"Gadis yang datang bersama awak, tu lah. Dia tu anak awak ke?".
"Oh yang itu, dia tu bukan anak kami".
"Lantas anak siapa?,"
"Dia itu anak Sus, adik kami, memangnya kenapa, Kak?"
Azizah tersipu malu. Dua buah perkiraannya tak ada yang benar. "Ada apa dengan Kak Zizah. Tiba-tiba saja wajahnya sedikit memerah ketika aku bertanya demikian," Aminah membatin. Dia tak berani mengungkapkan isi batinnya apalagi menggesa Kak Zizah untuk menjawab. Namun, prasangkanya segera berjalan dan telah berani menebak maksud pertanyaan.
"Jangan-jangan, Kak Zizah mau menjodohkan anaknya dengan anak Sus" batinnya menduga. Dugaan Aminah bukan tak beralasan, mengingat ketiga anak prianya Kak Zizah belum ada yang menikah. Mungkin, pacaran sudah pernah. Dia lebih memilih bungkam untuk beberapa menit hingga Kak Zizah yang masih mempunyai tali persaudaraan dengannya itu buka mulut.
"Eh, dia tu dah ada yang punya tak,".
"Setahu saya tidak, ada apa kak?".
"Aku berkenan dengan anak tu, engkau mau tolong aku?"
"Selagi saya mampu mengapa tidak,"
"Tolong lah risikkan, cari tahu secara pasti apakah dia sudah ada yang punya, kalau belum aku mau dia menjadi pendamping anakku"
"Untuk anak kakak yang mana?"
"Ya, untuk siapa lagi, kalau bukan untuk anak aku yang sulung tu lah,"
"Baiklah, nanti kalau saya sudah dapat informasinya, saya telepon kakak,".
Dalam perjalanan pulang, Aminah asik tersenyum sendiri. Sang suami heran, tetapi tak mau bertanya apalagi memberi kritik. Biarlah, anggapnya, mungkin hatinya lagi senang. Bisa jadi fertigo-nya kambuh kalau sang suami memotong kebahagiannya itu.
Setibanya di rumah Aminah langsung mengabarkan kepada suaminya tentang niat Kak Zizah untuk merisik keponakannya itu. Dan nanti malam, dia mengajak suaminya untuk bersama-sama mencari sebuah kepastian. Bukan prasangka yang membuat manusia sering salah menafsirkan sesuatu yang bermula dari dugaan semata, melainkan investigasi mendalam layaknya seorang wartawan tabloid mingguan dalam mewawancarai seorang informan.
Sang suami menyambut gembira dan mengamini permintaan istri yang telah melahirkan enam orang anak itu. Dan, kini gantian sang suami yang tersenyum mendengar keponakannya mau dirisik alias penjajakan tahap pelamaran. Tapi, senyumya sejenak terhenti, memikirkan sesuatu yang sebenarnya antara penting dan tidak penting untuk dipikirkan. Pikiran aneh itu membuat hati Aminah yang tengah duduk di sofa bertanya, lantas mengeluarkannya lewat suara, "Mengapa, Bang?"
Kaget, sang suami terjaga dari pikiran yang telah membawa dia ke alam mimpi, ah, mungkin lebih tepatnya lagi di alam lamunan. "Setahu saya Era itu kan belum punya pacar otomatis itu merupakan lampu hijau buat kita. Tapi, bagaimana dengan Yusuf, bapaknya. Mau nggak menerima,". Ungkapan yang pesimis itu tak menyurutkan semangat Aminah, malah Aminah semakin optimis. Dan dia tetap tak memperdulikan apa yang terjadi nanti, yang penting niat baiknya itu akan dia tuangkan dengan lugas malam nanti.
"Bang, saya rasa itu bukan halangan terberat. Yang menjadi halangan terberat anak-nya itu mau atau tidak. Dia kan belum pernah melihat wajah anak Kak Zizah,". Si suami hanya menggelengkan kepala. Diam, tak memberi komentar, tetapi hati istrinya tetap bulat untuk mengutarakan isi hati Kak Zizah. "Lihat saja nanti" si suami tampak pasrah.
Malam pun tiba, Aminah menagih janji kepada sang suami untuk menemaninya ke rumah Sus adiknya. Tak ingin menambah dosa karena mengingkari apa yang telah diucapkannya siang tadi, si suami bergegas mengganti celananya dengan sarung sembari mengambil senter di kamar. Maklum, suasana malam sedang gelap gulita. Tak jauh jarak antara rumah Aminah dan Sus. Sekitar 25 langkah dari rumahnya.
"Bagaimana ya, kira-kira ponakanku itu mau nggak ya," buka suami di tengah perjalanan.
Awak (kamu) jangan pesimis, Aminah mengancam, sekarang kita hampir tiba di depan teras, jangan berbicara terlalu keras, nanti keburu diketahui. Jadi, berita ini bisa nggak kejutan lagi buat mereka.
"Assalamualaikum," ucap Aminah dan suaminya ketika berada di depan pintu.
"Waalaikumsallam" jawab Sus dan suaminya.
Bagi Sus dan suaminya, kedatangannya kakak sulungnya malam itu merupakan hal aneh, sehingga keduanya saling melirik sembari menyuruh kakak dan abang iparnya masuk. Dan ucapan basa-basi itu belum komplit kalau tidak ditambah dengan kata duduk. Aminah dan suaminya saling melirik dan Sus beserta suaminya semakin merasa aneh.
Tahu akan keanehan itu, keempat orang anaknya yang semula berada diruang tengah berdekatan dengan ruang tamu masuk ke markasnya masing-masing. Entah mengapa, mereka yang rajin menguping kala itu, segera menyingkir karena telah menebak ada ungkapan rahasia yang dibawa oleh om dan tantenya itu yang tidak boleh mereka dengarkan. Bukan karena mereka tak bisa menyimpan rahasia keluarga, tapi perasaan lah yang membawa mereka untuk tidak mendengar apa saja yang akan dibicarakan nanti
Sus dan suaminya duduk bersebelahan, menatap dengan kakak dan abang iparnya. Saling tersenyum sebelum melakukan pembicaraan. Aminah menoleh ke suaminya. Dia menaikkan alis matanya. Apa maksudnya. Suaminya belum mampu menangkap ungkapan kata yang diucapkan dari salah satu bagian organ tubuh. Aminah tak kehabisan akal. Supaya suaminya mengerti dia menggunakan telapak tangan dan mengayun-ayunkannya.
Akhirnya suaminya tahu, kalau istirinya menyuruh dia untuk mengawali pembicaraan. Tak panjang mukadimah yang suaminya paparkan, kebetulan basa-basi juga tak diperlukan untuk membahas masalah ini.
"Kemarin, kami berjumpa dengan Kak Zizah," buka suami Aminah.
"Lalu," suara suami Sus curiga.
"Kak Zizah bertanya kepada kami, apakah Rara sudah ada yang punya".
"Maksudnya pacar," Aminah menyambung.
"Kalau sudah mengapa dan kalau belum mengapa," tegas suami Sus.
Pasangan enam orang anak ini terdiam beberapa saat. Penegasan ini semula mereka anggap sebagai tekanan sekaligus penolakan terhadap pertanyaan yang mereka ajukan. Dan mereka tidak ingin membuat suasana menjadi tak nyaman. Mereka juga tak mau larut dalam lembah emosi karena ucapan miring yang sedikit membuat hati mereka teriris.
Karena bermaksud untuk menyampaikan amanah, ucapan itu pun tak mungkin untuk mereka gubris, Suami Aminah menanggapinya dengan dingin, "Intinya begini, Kak Zizah ingin menjodohkan anaknya dengan anak kalian. Kalau Rara sudah ada yang punya berarti batallah perjodohan ini, tetapi kalau belum Kak Zizah akan meneruskan proses merisik ini,".
Suami Sus tercengang. Bingung tak karu-karuan. Sus sendiri malah tenang. "Aduh gimana ya? dia kan masih muda. Rasa-rasanya dia belum pantas untuk menikah," tutur Suami Sus dalam keraguan.
"Umurnya sudah berapa sekarang?" tepis suami Aminah. Saking bingungnya suami Sus tak mengetahui dan tak berhasil mengingat berapa umur anak gadisnya itu. "Umur Rara berapa ya Sus?" tanyanya. Dengan tegas Sus menjawab 25. Aminah dan suaminya tercengang. Umur 25 dikatakan belum pantas untuk menikah. "Jadi, di usia keberapa Rara akan menikah," suami Aminah menyerang. Sus dan suaminya tak kuasa menjawab. Mereka salah tingkah dan mulai gelisah.
Meskipun begitu, Sus dan suaminya tak mau bertindak otoriter kepada anaknya. Dia ingin menanyakan terlebih dahulu kepada anaknya, walau dia ketahui dengan pasti dia belum ada yang punya. "Tengoklah nanti, apakah Rara-nya mau dijodohkan. Keputusannya sekarang bukan di tangan kami, tetapi ada sama Rara sendiri," ungkap suami Sus dengan bijak.
"Kalau begitu, baiklah. Hari pun sudah semakin larut. Kami permisi sekarang, mau pulang,". Sus dan suaminya mengantarkan kakak dan abang iparnya hingga di depan teras. Kepulangannya mereka meninggalkan sekelumit persoalan yang bisa menyenangkan dan menyakitkan. Menyenangkan apabila anak mereka menyetujui calon yang memang mereka anggap pantas untuk mendampingi anaknya. Menyedihkan kalau anaknya menolak, tetapi mereka tidak mau memaksakan kesenangan mereka dengan mengorbankan anaknya.
Untuk itu, setelah Aminah dan suaminya melangkah jauh Sus dan suaminya memanggil Rara untuk duduk bersama di ruang tamu dan menceritakan hal tersebut kepadanya. Rara terlihat malu-malu ketika mendengar penjelasan kedua orangtuanya itu. Namun, dari rasa malu-malu itu. Ayah, demikian Rara memanggil bapaknya telah mengetahui kalau anaknya itu suka, meskipun belum memandang wajah sang pria Setidaknya, ini adalah lampu hijau baginya. Sejak dia sepakat hampir setiap hari Sabtu dan Minggu anak sulung Azizah bertandang ke rumahnya. Dari Minggu ke Minggu, bulan ke bulan hingga mencapai waktu 2 tahun mereka pacaran. Akhirnya, mereka meningkatkan status mereka melalui proses resepsi pernikahan.

Sebutir Peluru Tak Mampu Membuat Mawar Layu

Jika punya kuasa melipat jarak dan waktu, aku ingin pulang sejenak ke masa lalu, mengabarkan pada ibu bahwa sebutir peluru tak mampu membuat mawar itu layu.
Musim baru saja berganti. Langit mendung dan dingin mengepung. Seperti senja kemarin, aku kembali duduk di beranda, bersama segelas kopi dan sebungkus rokok. Menunggu gerimis pertama luruh di awal bulan ini.
Bis kota yang miring ke kiri karena sarat penumpang berhenti persis di depan rumah. Lima orang bergiliran keluar dari pintu belakang. Seorang karyawan menjinjing tas kerja, dua pelajar SMU pulang sekolah, ibu separuh baya membawa bungkusan plastik hitam, dan gadis manis berpakaian modis. Letih campur cemas terpahat di wajah mereka saat melangkah di trotoar. Semoga hujan tak keburu tumpah sebelum tiba di rumah, mungkin begitu kata hati mereka resah. Bis kota kembali melesat. Lenyap di jalanan yang padat. Menyisakan asap knalpot hitam pekat.
Di halaman rumah ada pohon angsana meranggas disiksa kemarau. Kesiur angin merontokkan daun-daunnya yang kering. Menari gemulai di udara sebelum membentur aspal, atap, dan sebagian menistai jalanan. Sebentar lagi dedaunan itu tinggal riwayat. Lebur bersama tanah, jadi humus yang menyuburkan, lalu lahirlah daun-daun baru yang hijau segar.
Menikmati diorama senja di beranda. Memandangi seruas jalan yang tak pernah mati. Menyaksikan musim demi musim yang terus berganti. Aku tak sanggup membayangkan semua itu akan sirna, sebentar lagi.
Gerimis akhirnya luruh juga.
***
Kata orang, kita baru sadar bahwa pernah memiliki sesuatu yang berharga justru setelah sesuatu itu hilang dari kehidupan kita. Kupikir ada benarnya juga. Hari-hari belakangan ini, aku lebih suka menghabiskan waktu di rumah. Mengais-ngais kenangan yang masih tersisa sebelum raung buldoser meluluhlantakkan sejarah kami.
Almarhum kakek mewariskan empat rumah yang berderet di tepi jalan protokol. Sebagai anak tertua, bapakku menempati rumah paling kiri. Halamannya luas. Begitu juga ruangan-ruangan dalam rumah. Semasa kakek dan nenek hidup, rumah ini jadi tempat berkumpul keluarga besar kami. Jika ada hajatan atau hari raya, pasti riuh oleh tawa dan rengek bocah, juga percakapan orang-orang dewasa. Malamnya kami semua tidur menghampar di sembarang tempat. Di ruang tamu, ruang keluarga, atau di loteng atas. Tradisi itu masih terjaga hingga kini.
Pamanku, adik bungsu Bapak, menempati rumah di ujung kanan. Dua rumah di tengah adalah jatah kedua bibiku. Namun karena ikut suami, rumah itu mereka sewakan. Satu disewa sebuah perusahaan konsultan, satu lagi disewa pasangan suami istri yang baru menikah.
Beberapa bulan lalu seorang lelaki berpakaian perlente datang ke rumah menemui bapak. Dia utusan salah seorang pengusaha terkenal. Kata lelaki itu, pimpinannya berminat membeli tanah berikut keempat rumah kami. Dia menanyakan apakah bapak sebagai ahli waris berniat menjualnya. Meski tidak terang-terangan memberitahu tujuannya, kami yakin mereka punya rencana mendirikan ruko di atas tanah ini. Sejak beberapa tahun lalu tanah di tepi jalan protokol di kota kami jadi incaran orang-orang berduit dan berotak bisnis. Selain tempatnya strategis, juga menjanjikan keuntungan yang manis.
Setelah bapak dan ketiga adiknya berunding, akhirnya mereka sepakat menjual tanah berikut rumah. Memang tinggal empat rumah kami yang tersisa di ruas jalan ini. Rumah-rumah lain sudah lebih dulu dijual pemiliknya. Di kiri kanan rumah kami, kini tegak ruko-ruko mentereng. Semuanya sudah terisi. Bengkel perawatan mobil, tempat kursus, salon, warnet, dan lainnya. Ganjil juga melihat tempat tinggal kami terjepit di antara ruko-ruko itu.
Aku tak mau ikut campur dengan urusan mereka. Hasil penjualan tanah memang sangat besar. Syukurlah tak sampai terjadi pertikaian gara-gara rebutan warisan seperti dialami keluarga-keluarga lain. Sepasang suami istri itu sudah pindah setelah diberi ganti rugi. Tinggal menunggu perusahaan konsultan di sebelah rumah kami. Masa kontraknya selesai kurang dua bulan lagi. Setelah itu, kami harus angkat kaki.
Bapak dan paman telah membeli rumah baru yang letaknya agak ke luar kota. Aku sudah melihat kondisi dan lokasi rumah itu. Jauh dari hiruk-pikuk. Udara pun masih terasa segar. Tak lama lagi kami pindah ke sana. Dan beberapa hari belakangan ini, aku suka menghabiskan waktu di rumah saja. Termenung mengenang semua cerita yang bersemayam dalam rumah ini. Sungguh, tak bisa dihitung!
***
Rumpun mawar di pojok dekat pintu pagar senantiasa mengingatkanku pada dua sosok yang telah lama hilang. Andri, sahabat karibku semasa SMA, dan almarhumah ibu.
Sembilan tahun lalu, saat acara perpisahan sekolah, Andri memberiku kenang-kenangan sebutir peluru. Aku tercengang melihatnya. Benda itu terasa dingin di telapak tanganku. Semula ingin kukembalikan saja karena tak mau ada masalah di kemudian hari.
”Simpanlah peluru ini baik-baik. Jika panjang umur dan kita sempat bertemu lagi, aku ingin melihat peluru ini masih ada.”
Aku terharu mendengarnya. Sejak SMA dia memang bercita-cita jadi tentara, mengikuti jejak sepupu-sepupunya. Waktu berkunjung ke rumahnya, aku pernah melihat foto-foto lelaki gagah terpampang di dinding. Ada yang jadi pilot pesawat tempur, tentara, marinir, dan reserse. Andri bercerita panjang lebar tentang siapa saja dalam foto itu, juga cerita-cerita seputar pengalaman mereka. Andri juga mengaku jauh-jauh datang dari kota kabupaten, menumpang di rumah pamannya yang masih aktif di tentara; selain untuk melanjutkan pendidikan, juga agar pamannya membantu meloloskan niatnya.
***
Bapak dan ibu kebakaran jenggot waktu kuperlihatkan benda mungil sebesar biji tangkil itu. Ibu panik. Bapak marah. Mereka menyuruhku mengembalikan peluru itu atau membuangnya jauh-jauh.
Aku gamang. Membuang peluru itu sama saja membuang kenang-kenangan dari seorang sahabat. Menyimpannya berarti merawat masalah dengan orangtua. Sampai larut malam, kutimang-timang peluru itu sembari memikirkan jalan keluarnya.
Besoknya aku bangun pagi buta. Peluru itu kumasukkan dalam plastik bekas obat, kulipat sekecil mungkin, lalu kuikat dengan karet gelang. Kugali tanah dekat rumpun mawar di pojok pagar. Setelah kurang lebih sejengkal kedalaman lubang, kutanam bungkusan itu. Kutimbun dan kutata lagi tanahnya seperti semula agar tak ada yang curiga. Ketika bapak dan ibu menanyakan perihal peluru itu, kubilang sudah kukembalikan ke pemiliknya.
Sampai kini, aku dan Andri belum pernah bertemu lagi. Kabar terakhir yang kudengar, dia sudah berhasil meraih mimpinya. Jadi tentara berpangkat rendah dan dinas di sebuah kota kecil di pulau seberang. Dia juga sudah menikah dan dikaruniai seorang anak.
***
Siang ini rumah sunyi. Sepi bernyanyi. Angin menari. Ruang-ruang dalam rumah telah kujelajahi. Bapak dan tiga adikku telah pergi. Entah kapan mereka akan kembali. Yang jelas, saat keluar tadi, mereka lupa mematikan televisi.
Kucomot remote di atas bantal gajah yang sudah peyot. Kupencet tombol merah. Benar kata seorang teman, televisi sudah jadi hantu elektronik. Setiap hari layar kaca menjejeli penonton dengan berita-berita buruk rupa.
Kemarin ada berita seorang pedagang sayur dibegal subuh buta. Motornya dibawa kabur setelah perampok menembak dadanya. Dua lubang sebesar biji tangkil itu membuat udara berhenti keluar masuk dari hidung si pedagang sayur. Kemarinnya lagi, ada berita polisi dan tentara baku tembak dalam diskotik. Konon rebutan wilayah kekuasaan. Kemarinnya lagi, seorang lelaki diciduk karena menyodomi duabelas bocah. Kemarinnya lagi, anak pejabat melepaskan tembakan di tengah kerumunan massa yang nyaris menghajarnya karena menabrak anak kecil. Kemarinnya lagi, bangkai bayi ditemukan terongok dalam kardus mi. Kemarinnya lagi, dua kampung tawuran gara-gara salah paham. Kemarinnya lagi, penguasa negeri membaca teks bahwa negeri ini aman terkendali. Dan setiap malam, sinetron dan kuis-kuis penonton meringis sinis.
Kupikir sudah saatnya dibuat peringatan baru, bahwa selain merokok, menonton televisi pun bisa menyebabkan serangan jantung dan sesak napas.
***
Dulu, di waktu-waktu yang tak tentu, aku sering mencuri waktu mengorek-ngorek tanah dekat rumpun mawar di pojok pagar. Aku lega menemukan bungkusan berisi peluru itu masih ada. Terbayang dibenakku wajah seorang sahabat lama.
Siang itu langit mendung. Dingin mengepung. Rumpun mawar bergoyang-goyang ditiup angin. Ada beberapa kuncup mungil di sana . Sebentar lagi mawar-mawar merekah. Menguarkan aroma harum semerbak. Aku ingin sentimental sejenak dekat rumpun mawar itu.
Yeah, waktu adalah hakim yang paling adil. Tak bisa kulupakan peristiwa itu. Pertengkaran terakhir dengan ibu sebelum beliau meninggal.
Suatu hari ibu membeli bibit mawar yang dijual pedagang bunga keliling. Ibu mengorek-ngorek tanah di sekitar rumpun mawar untuk menanam bunga yang baru dibelinya. Tak sengaja ibu menemukan bungkusan plastik berisi peluru itu. Tak ayal lagi, ibu menuduhku telah mengelabuinya bertahun-tahun!.
”Benda ini biang masalah! Tak ada gunanya! Sudah kusuruh buang, eh rupanya sekian lama kau tanam dekat rumpun mawar itu! Bisa mati semua bunga kesayanganku…” Dan masih banyak lagi celoteh ibu. Meski aku ngotot ingin menyimpan peluru itu, ibu dan bapak tak juga menyerahkannya padaku.
Entah bagaimana nasib peluru itu di tangan mereka. Aku sudah mencarinya ke setiap sudut rumah. Tapi hingga kini tak pernah kutemukan jejaknya. Membayangkan kenang-kenangan itu sudah dibuang, aku termangu mengingat seorang sahabat.
Kesiur angin merontokkan sehelai daun mawar yang kuning digerus usia. Aku mendesah haru. Sebentar lagi rumah ini rata dengan tanah. Begitu juga rumpun mawar kesayangan almarhum ibu. Semuanya akan jadi sejarah.
Ah, jika punya kuasa melipat jarak dan waktu, sungguh, aku ingin pulang sejenak ke masa lalu. Mengabarkan pada ibu bahwa sebutir peluru tak mampu membuat mawar itu layu….
Bandar Lampung, 2004/2012

Sebungkus Cinta Untuk Alenda

Nasi dan obat mag ini harus sampai kepada Alenda secepatnya, tekad Nadia. Bagi gadis PMI ini sebungkus nasi dan obat mag di dalam tas plastik hitam itu ibarat "sebungkus cinta sejati" yang harus sampai kepada Alenda Rosi seutuhnya. Dan, itulah janjinya kepada pemuda yang terkena mag akut dan sedang terbaring di salah satu ruangan di dalam Gedung MPR itu.
Tapi, bagaimana caranya, pikir Nadia. Gedung MPR sudah diblokade pasukan antihuru hara dengan pagar betis, truk-truk dan jeep militer. Bahkan, ada beberapa panser dan mobil anti huru hara yang dilengkapi 'meriam air' yang tampak begitu provoktif di mata gadis itu. "Ini benar-benar berlebihan. Mereka seperti menghadapi pemberontak saja," gumamnya.
Nadia sendiri terjebak di tengah aksi unjuk rasa tidak jauh dari Gedung MPR. Dan, keadaan benar-benar menjadi kacau ketika aparat keamanan berusaha keras membubarkan para pengunjuk rasa. Sambil merangsek ke arah para demonstran dengan tameng dan pentungan, aparat keamanan menyemprotkan air, gas air mata, dan desingan peluru-peluru karet ke arah mereka.
Konsentrasi para demonstran pun menjadi porak-poranda. Dan, sial bagi Nadia, ia tertabrak-tabrak para demonstran sampai terjengkang ke pinggir jalan raya, sehingga kantung plastik berisi nasi dan obat mag di tangannya terpental ke aspal. Sambil meringkuk di atas aspal, ia cepat-cepat melindungi kepalanya dengan kedua telapak tangannya dari injakan kaki-kaki yang berlarian kalang kabut.
Dalam ketakutan yang belum reda, tiba-tiba tendangan sepatu mendarat ke tubuh gadis itu. Ketika ia membuka wajahnya dan menengok ke belakang, seorang aparat keamanan sudah berdiri tegak di dekat punggungnya. "Ayo, bangun!" perintah sang aparat sambil melotot dan mengangkat pentungan.
Nadia cepat-cepat bangun dengan tubuh agak gemetar. Sang aparat segera menggantungkan pentungan di pinggangnya, dan memanfaatkan tangannya untuk mencengkeram lengan gadis itu. "Ikut saya!" katanya.
Nadia panik dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Sepintas ia ingat sebungkus nasi dan obat mag di dalam kantung plastik hitam yang tadi dibawanya. Ia mencari-cari dengan matanya, dan menemukan kantung plastik hitam itu tergeletak di tengah jalan raya.
"Nasi saya, Pak! Tolong nasi saya! Ada yang sakit mag. Harus segera diberi nasi dan obat. Jika tidak, bisa mati!" kata Nadia pada aparat keamanan itu. Tapi sang aparat tidak peduli dan terus menyeretnya.
Dalam kepanikan, Nadia sempat melihat, seorang demonstran berjaket kuning kumal digebuk berkali-kali dengan pentungan karet oleh dua anggota pasukan anti huru hara dan dipaksa masuk ke truk polisi. Khawatir akan bernasib serupa, ia buru-buru berkata, "Lepaskan saya, Pak! Saya bukan demonstran! Saya anggota PMI. Lihat ini di lengan saya ada tanda palang merah!"
"Nggak bilang dari tadi! Brengsek!" anggota PHH itu melepaskan Nadia, sambil mengomel dan mendorong gadis itu agak keras.
Nadia sempoyongan akibat dorongan itu. Ia menabrak seorang aparat keamanan berpakaian hitam-hitam dan bertopi seperti cowboy , yang langsung memelototinya, dan menodongkan senapan otomatis padanya. Gadis itu minta maaf sambil membungkuk-bungkuk. "Maaf, maaf, Pak, tidak sengaja. Saya bukan demonstran. Saya anggota PMI, mau menolong yang terluka!"
"Kopral, biarkan dia pergi!" teriak seorang aparat yang berpakaian sama. Mungkin ia komandannya.
Aparat yang tertabrak tadi menghentikan todongan senjatanya. Nadia lantas berjalan tertatih-tatih. Matanya jelalatan mencari-cari sebungkus nasi dalam kantung plastik hitam tadi. Jalannya agak terpincang-pincang, mungkin telapak kakinya yang terbungkus sepatu cat hitam lecet, atau pergelangan kakinya terseleo.
Di tengah situasi kacau balau seperti itu sebungkus nasi menjadi barang langka bagi Nadia. Nasi itu ia beli dengan susah payah, dan itu adalah stok terakhir dari sebuah kantin di stasiun TVRI Pusat. Sementara peluhun penjaja nasi lain sudah kehabisan stok, atau sengaja menutup warungnya karena khawatir akan terjadi kerusuhan. Karena itu, Nadia berusaha keras untuk menemukan kembali kantung plastik hitam berisi sebungkus nasi dan obat mag tersebut.
Setelah berusaha keras, ia temukan juga kantung plastik hitam itu, persis di bawah jembatan layang Taman Ria Senayan. Ia bermaksud mengambilnya, tapi sepeleton aparat keamanan bergerak cepat, dan dengan langkah-langkah bergedebum menggilas kantung plastik itu. '' Astaga! '' teriak gadis itu sambil melongo dan mengusap dadanya.
Selewat tragedi kecil itu, gadis yang di dadanya tertempel nama Nadia Marhastuti itu buru-buru berlari kecil ke tengah jalan dan memungut kantung plastik hitam tersebut. Begitu kembali ke pinggir jalan, ia memeriksa isi kantung itu. Ia terbelalak, bungkusan nasi itu telah benar-benar gepeng seperti dilindas buldoser. Tapi, ajaibnya, kertas pembungkus dan kantung plastiknya sama sekali tidak robek. Begitu juga sekaplet obat magnya, masih utuh.
Sambil menenteng kantung plastik hitam itu, Nadia lantas berlari tertatih-tatih ke arah Gedung MPR. Tapi, sebuah barikade pagar betis berlapis, PHH, dan pasukan Kostrad, menghadangnya tidak jauh dari pintu masuk gedung MPR. Tampak pula beberapa panser, mobil pemadam kebakaran, dan truk-truk militer yang hidungnya dilengkapi perisai berlapis kawat berduri.
Nadia merasa keder dan ragu, bagaimana bisa menembus barikade yang luar biasa ketat tersebut. Pikirannya kembali melayang kepada Alenda, yang pasti sedang menunggunya dengan cemas sambil sesekali memegang perut dan meringis kesakitan. Tidak hanya obat antimag yang harus disuapkan ke mulutnya, tapi juga sebungkus nasi, roti, atau apa pun, yang dapat mengisi lambungnya yang kosong. "Ya Tuhan, berilah kekuatan padanya," doanya dalam hati.
*
Sudah tiga hari Alenda Rosi menginap di Gedung MPR, ikut meneriakkan reformasi untuk menumbangkan rezim otoriter yang dinilainya korup. Dan, karena bersemangatnya, ia lupa makan, sehingga penyakit magnya kambuh. Sialnya, perbekalan kelompoknya habis dan suplai makanan dari LSM terlambat. Maka, tergeletaklah ia sambil sesekali memegang perutnya dan meringis-ringis kesakitan.
"Tenanglah, Alenda. Aku berjanji segera kembali dengan nasi dan obat mag untukmu," kata Nadia ketika itu, mencoba menenangkan kegelisahan sang demonstran, kekasihnya itu.
Ingat janji dan penderitaan pacarnya itu, semangat Nadia berkobar lagi. Ia mencoba mendekati seorang anggota PHH dan minta agar diizinkan masuk ke komplek Gedung MPR. "Saya anggota PMI, Pak. Lihat ini tandanya! Ada kawan yang harus segera ditolong di dalam! Mohon saya diperbolehkan masuk!" katanya.
''Siapapun tidak boleh masuk! Cepat menyingkir dari sini!'' jawab anggota PHH itu, tegas.
"Aduh, kasihan kawan saya, Pak! Kalau tidak segera ditolong, dia bisa mati! Boleh ya, Pak, saya masuk?" gadis itu merajuk lagi.
"Sudah saya katakan, siapapun tak boleh masuk! Cepat menjauh dari sini! Atau mau kutembak?" kali ini anggota PHH itu menodongkan pistol ke jidat Nadia. Ia tidak tahu, isi pistol itu peluru karet atau peluru beneran . Sepintas ia ingat, sering ada demonstran yang terkena peluru beneran . "Kalaupun isi pistol itu peluru karet, bisa benjol juga jidatku kena tembak dari jarak dekat begini," pikirnya.
Nadia keder juga mengingat itu. Bagaimanapun, ia tidak ingin mati konyol terkena peluru aparat keamanan, atau pingsan dengan jidat benjol. Ia pun terpaksa mundur, agak menjauh dari barikade itu. Ia mencari akal, menunggu kesempatan, untuk dapat masuk secara paksa. Tidak lama kemudian muncul arak-arakan mahasiswa dari arah Semanggi, bukan hanya ratusan, tapi ribuan. Naga-naganya mereka akan merangsek masuk ke komplek gedung MPR. Ada kabar beredar, mahasiswa akan menguasai gedung wakil rakyat itu.
Nadia melihat ada kesempatan untuk ikut merangsek masuk. Dan, betul juga. Meskipun sudah diperingatkan melalui pengeras suara agar tidak mendekat, barisan ribuan demonstran itu terus merangsek barikade tentara. Bentrok antara aparat keamanan dan demonstran pun tidak bisa dihindari lagi. Bunyi senapan otomatis berletusan dari aparat, dibalas hujan batu dari para demonstran. Gas air mata berkali-kali dilemparkan. Meriam air pun tidak henti-henti ditembakkan ke arah para demonstran. Mereka kocar-kacir. Ada yang bertiarap. Ada yang mengambil langkah seribu. Ada yang terjungkal terkena peluru. Ada yang terkena pentung bertubi-tubi, lalu tergeletak ke aspal. Tapi, banyak juga yang berhasil lolos masuk ke komplek gedung MPR.
Nadia benar-benar memanfaatkan kesempatan itu untuk ikut lolos ke dalam. Ia ikut merangsek barikade aparat keamanan. Tapi, belum sampai melewati pintu gerbang kompleks Gedung MPR, seorang anggota PHH menjegal kakinya, dan pentungan karet bertubi-tubi memukul punggungnya. Ia jatuh terguling ke aspal dan kantung plastik hitamnya pun terpental lagi ke jalan raya. Kali ini nasibnya lebih sial, tubuhnya terinjak-injak puluhan kaki mahasiswa yang berlarian tidak tentu arah, dalam kepulan gas air mata dan hajaran meriam air.
Berkali-kali Nadia mencoba bangkit, tapi berkali-kali kembali terguling karena diterjang orang-orang yang berlarian menyelamatkan diri. Akhirnya ia hanya bisa melindungi kepalanya dengan kedua lengannya, kemudian memejamkan matanya. Dan, yang terakhir ia rasakan adalah ratusan sepatu bergantian menginjak-injak perut dan dadanya, lalu ribuan kunang-kunang menari di matanya, dan kegelapan total memerangkap kesadarannya.
*
Nadia tidak tahu berapa jam ia pingsan. Ketika kesadarannya pulih, bentrok antara aparat dan demonstran telah reda. Hari sudah gelap dan suasana jalan di depan kompleks Gedung MPR pun sudah agak lengang. Ingatannya langsung terbawa pada sebungkus nasi dan obat mag di dalam kantung plastik hitam serta wajah cemas Alenda yang menunggunya di salah satu sudut gedung MPR. Dengan matanya ia pun mencari-cari kantung plastik hitam itu. Dan, sekitar lima meter dari tempatnya terbaring, dalam terpaan cahaya lampu merkuri, tampak bayang-bayang onggokan kantung plastik hitam yang kedua ujungnya melambai-lambai diterpa angin malam.
Saat itulah, tidak jauh dari sang gadis tersaji pemandangan yang cukup menakjubkan. Kantung plastik hitam itu tergeletak di tengah jalan raya, persis di depan gerbang masuk komplek Gedung MPR. Sementara, di latar belakang kantung plastik itu, di pintu gerbang tersebut, tampak puluhan tentara berderet dalam dua lapis. Dua panser dan satu truk PHH juga tampak siaga di kanan kiri gerbang.
Di tengah suasana jalan yang sudah lengang dari hiruk pikuk demonstrasi, sebungkus nasi di dalam kantung plastik hitam itu seperti menjadi 'aktor politik' yang sangat penting, yang memiliki kekuatan subversif untuk meruntuhkan kekuasaan. Seakan, hanya untuk mengawasi sebungkus nasi itulah puluhan tentara bersiaga di pintu gerbang, agar sang nasi tidak dapat menyusup masuk ke kompleks Gedung MPR. Nadia membayangkan, seandainya ia nekat merangkak untuk mengambil nasi itu, mungkin akan disambut berondongan tembakan senapan otomatis, lemparan bom gas air mata, atau tembakan meriam air dari mobil PHH.
Dalam perasaan kecut, Nadia tetap mencoba untuk bangkit. Tapi, ia merasa tidak punya sisa kekuatan lagi, bahkan hanya untuk mengangkat kepalanya sekalipun. Seluruh tubuhnya - yang basah kuyup - terasa pegal dan nyeri. Dan, rasa yang paling nyeri ada di bawah dada dan selangkangannya. Mungkin tulang rusuknya patah terinjak sepatu tentara, dan kemaluannya memar karena tergencet sepatu juga.
Namun, gadis itu tidak putus asa begitu saja. Ia mencoba mengumpulkan kembali sisa-sisa tenaganya. Ia mencoba bangkit lagi, untuk duduk, tapi gagal lagi. Ia mencoba lagi, berkali-kali, tapi selalu gagal lagi. Dengan sisa-sisa tenaganya, ia meraba rasa nyeri di bawah dadanya. Ia yakin, satu atau dua tulang rusuknya patah akibat terinjak sepatu. Kemudian ia memberanikan diri meraba kemaluannya yang masih dibungkus celana panjang putih seragam PMI. Ia terkejut tangannya menyentuh cairan kental keluar menembus celananya. Buru-buru ia menarik jari-jari tangannya, memeriksa dengan matanya, dan menciumnya. 'Kemaluanku berdarah!' batinnya.
Nadia bergidik. Tiba-tiba ia khawatir telah menjadi korban perkosaan. Tapi, oleh siapa dan dilakukan di mana? Mungkinkah ia diperkosa di tengah jalan? Nadia menjadi curiga, jangan-jangan, ketika pingsan, ia dinaikkan ke dalam mobil oleh seseorang, entah siapa, lalu dibawa ke suatu tempat yang sepi, diperkosa di sana, lalu dibawa lagi ke jalan di depan Gedung MPR dan seperti sampah dilempar begitu saja ke tepi jalan. Nadia merasa ngeri membayangkan apa yang telah menimpanya. Ia lantas menggerakkan tangannya ke belakang punggungnya, untuk memastikan di mana tepatnya kini tubuhnya terbaring. Begitu telapak tangannya menyentuh tanggul beton, ia menyadari bahwa tubuhnya kini terbaring meringkuk persis di sisi beton pembatas jalan tol Gatot Subroto.
Dengan tetap meringkuk, ia mengamati situasi di dalam kompleks Gedung MPR. Kompleks wakil rakyat itu kini sudah dipenuhi pengunjuk rasa. Bahkan banyak di antara mereka yang sudah naik sampai ke atap gedung dan mengibar-kibarkan bendera serta merentangkan beberapa spanduk. Namun, dalam kegelapan malam, tidak jelas spanduk-spanduk itu bertuliskan apa. Mungkin sudah ribuan mahasiswa yang berhasil masuk ke kompleks gedung bundar itu, pikirnya. Tapi, bagaimana nasib Alenda? Makin cemas saja ia mengingatnya.
Nadia mencoba mengumpulkan kembali sisa-sisa tenaganya. Dengan itulah dia ingin menolong dirinya sendiri. Sepintas ia ingat kata-kata yang pernah diucapkan ayahnya, "Hidup ini keras, Nadia. Karena itu, kamu harus kuat, dan jangan sekali-kali bergantung pada orang lain. Hanya kamulah yang dapat menolong dirimu sendiri."
Nadia percaya, kata-kata ayahnya itu benar. Tetapi, kalau dirinya sendiri dalam keadaan sekarat, tidak berdaya, dan hanya orang lain yang dapat menyelamatkannya, tentu ia tidak dapat menolong dirinya sendiri. Gadis itu sadar, tidak setiap saat seseorang dapat menolong dirinya sendiri. Dalam keadaan tertentu nasib seseorang sering tergantung pada pertolongan orang lain. Dan, itulah nasibnya, dan nasib Alenda, saat itu. Itu pula alasannya masuk PMI, agar setiap saat siap menolong orang lain yang membutuhkannya.
Dalam ketidakberdayaan itu Nadia akhirnya mencoba untuk tidur, menunggu pagi. Ia berharap ada yang menemukannya sebelum pingsan dan segera membawanya ke rumah sakit. Itu pula harapannya untuk Alenda, aktifis yang sangat dicintainya. Dalam pejam, Nadia merasakan kesendirian dan kesunyian yang makin mencekam. Ia rasakan desir angin malam yang mengusap rambut dan pipinya. Ia rasakan semut-semut yang mulai merambati tangan, kaki, dan masuk ke celana panjangnya tanpa mampu ia usir. Mungkin beginilah kalau mati kelak, pikirnya. Sendiri, membusuk dalam kegelapan liang lahat, ditemani cacing-cacing tanah, semut-semut, jengkerik-jengkerik, kelabang-kelabang dan belatung-belatung, menunggu hari pehitungan. Nadia jadi ingat untuk berdoa, jika malam itu adalah malam terakhir hidupnya, Tuhan akan mengampuni dosa-dosanya.
Dalam kepasrahannya itu tiba-tiba Nadia merasakan kakinya ditendang-tendang. Pelan-pelan ia membuka matanya: dua sosok lelaki tua dengan pakaian kuning-kuning, dan sapu lidi di tangan masing-masing, berdiri di dekat kakinya. Sebersit rasa syukur langsung bergetar dalam hatinya. Dua petugas kebersihan kota, yang memang mulai bekerja pada dini hari, menemukannya.
"Tolong saya, Pak," kata Nadia lirih sambil menggerakkan tangannya pelan. "Tubuh saya remuk.... Saya tak bisa berdiri...."
Kedua petugas kebersihan itu lantas mengangkat bahu Nadia sambil memegangi lengannya, membantunya untuk berdiri. Gadis itu langsung minta dipapah masuk ke dalam gedung MPR, ke ruangan tempat Alenda terbaring sakit, sambil membawa tas plastik berisi sebungkus nasi dan obat mag yang tadi tergeletak di tengah jalan. Ia betul-betul ingin membuktikan janjinya kepada kekasihnya itu. Tapi, ia sangat kecewa, tidak ada lagi Alenda di sana. Yang ada hanya beberapa mahasiswa yang sedang sibuk membuat spanduk dan poster-poster gerakan reformasi.
Nadia ingin sekali bertanya pada mereka ke mana Alenda dibawa dan dirawat. Tapi ia keburu pingsan sebelum pertanyaan itu sempat diucapkannya. Maka, sebungkus nasi di dalam kantung plastik hitam yang telah menempuh perjalanan panjang, keras, dan berliku itu, akhirnya hanya tergeletak basi di pojok salah satu ruangan gedung wakil rakyat!
Jakarta , Juni 2001/2004/2012

Purnama Dibalik Cadar

Aku seperti melihat cahaya di balik cadar. Cahaya yang begitu kuat, menembus kain hijau lumut penutup wajah gadis semampai itu. Karena kuatnya, kadang-kadang cahaya itu menelan cadar sang gadis dan menyembullah bulatan bercahaya benderang bagai purnama menyelubungi kepalanya.
Hari itu, gadis bercadar tersebut berada di tengah diskusi tentang emansipasi wanita di Ibnu Sina Auditorium, Universitas Al Azhar, Kairo. Sejak memasuki ruang diskusi, ia sudah memancarkan pesona tersendiri. Ia tampak tinggi semampai, jauh lebih tinggi dari rombongan gadis-gadis berjilbab yang masuk bersamanya. Cara jalannya juga gemulai, dengan sepatu berhak tinggi yang kadang-kadang menyembul di bawah jubah hijaunya.
''Dia Salma Audina, dari Bandung,'' kata kawan di sebelahku, seorang mahasiswa Al Azhar, tahu aku memperhatikan gadis itu. 
''Apa dia aktifis Ihwanul Muslimin, Darul Arqam, Mujahidin, atau kelompok garis keras lain,'' tanyaku. 
''Kabarnya memang aktifis, tapi tidak jelas dari kelompok mana. Dia kuliah S-2 di filsafat Al Azhar. Baru sebulan di sini.'' 
''Tapi kenapa pakai cadar? Anak-anak filsafat biasanya liberal.'' 
''Aku pernah tanyakan itu padanya. Dia bilang, itu cara dia melindungi dirinya dari tatapan mata lapar laki-laki.''
Melihat matanya yang mempesona, dengan bulu-bulu mata yang lentik, kubayangkan wajah gadis itu sangat cantik. Tapi, bagaimana jika bibirnya sumbing, atau pipinya bertembong? Ah, apa peduliku. Aku memang sedang mencari calon istri, karena sudah terlalu lama membujang. Kuliah pasca-sarjanaku sudah selesai, dan gajiku sebagai kabag pendidikan KBRI sudah cukup untuk hidup berumah tangga di Kairo. Tapi, mengapa aku mesti repot menebak-nebak wajah di balik cadar itu? Mahasiswi Indonesia yang cantik, dan tidak bercadar, cukup banyak di Kairo.
Ketika aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri, tiba-tiba nama Salma disebut oleh moderator sebagai salah seorang penanya yang dipersilakan maju ke depan. Benar, gadis bercadar itu dengan cekatan berdiri dan melangkah ke depan. Dan, masya Allah , suaranya merdu sekali, tapi tetap tangkas menyusun pemikiran-pemikirannya dalam kalimat-kalimat yang jelas. Dan, ternyata pemikiran-pemikirannya sangat liberal, khas anak filsafat. Ia gugat sistem poligami, yang secara abadi menempatkan perempuan sebagai pelengkap laki-laki. Ia gugat kultur Islam yang masih menempatkan laki-laki sebagai pusat kekuasaan. Ia sebut contoh-contoh kaum perempuan yang menjadi korban laki-laki. Ia sebut Perempuan di Titik Nol Nawal El Sadawi, ia sebut Kartini, ia sebut pula Rabiah al Adawiyah yang tak sudi dijajah laki-laki dan lebih memilih menyerahkan seluruh cintanya pada Tuhan.
Saat itulah aku mulai melihat ada purnama di balik cadarnya. Cahaya itu mula-mula samar-samar, lama-lama makin jelas, seirama tekanan-tekanan pemikirannya, dan akhirnya menyelubungi seluruh kepalanya. 'Ah, mungkin aura kecerdasannya begitu kuat, sehingga muncul sepenuhnya saat berbicara,' pikirku.
''Aku melihat purnama di balik cadarmu,'' kataku seusai diskusi, setelah menghampirinya di lobi auditorium. 
Gadis semampai itu tidak menjawab. Hanya mata indahnya menatapku, melempar sejuta pertanyaan. Tapi, aku yakin, perempuan cerdas itu bisa meraba maksudku.
Suatu pagi, aku bertemu lagi dengan gadis bercadar itu. Kulihat dia sedang mancari-cari buku pada rak buku filsafat perpustakaan kampus. Dan, memang ke rak itu pula tujuanku. 
''Hai, gadis yang punya purnama,'' tegurku. 
''Hai, Pak Imran,'' Dia tampak agak terkejut. Tapi, aku bersyukur, dia ingat namaku. 
''Sedang cari buku apa?'' 
''Buku Annemarie Schimmer. Aku suka baca buku-buku tasawuf.''. ''Bagus itu.'' 
Kami lantas sama-sama asyik mencari buku. Salma memutari rak untuk menemukan yang dicarinya. Aku sendiri asyik membuka-buka beberapa buku sambil tetap berdiri di sisi rak. 
''Mas Imran....'' 
Tiba-tiba suara Salma mengejutkanku. Ia sudah ada di sebelahku. Aku menoleh dan kami saling berpandangan beberapa saat. Ada pesona yang luar biasa di mata birunya yang bening bagai telaga. Sesaat jiwaku seperti berenang di kesejukannya. Kemudian seperti ada getaran lembut yang menyusup ke hatiku, mungkin juga hatinya, karena ia lantas menunduk tersipu.
Pertemuan kami cukup singkat, karena dia segera pamit untuk siap-siap pergi ke Jerman guna mendaftar kuliah di sana. Kemudian, ia mau ke London dan ke Afghanistan . Tapi, mengapa ke Afghanistan ? Bukankah di sana sedang terjadi pengeboman terhadap markas Alkaidah oleh AS. Ibukota Afghanistan, Kabul, juga terancam jadi sasaran bom. Perburuan terhadap Osamah ben Laden sedang digencarkan oleh AS beserta sekutunya. Juga kampanye anti-terorisme dengan menyudutkan kelompok-kelompok Islam garis keras.
Tiba-tiba aku mengkhawatirkan keselamatan gadis bercadar itu. Apalagi, pasca-tradegi menara kembar WTC, umat Islam dimusuhi di banyak negara kulit putih. Dengan pakaian seperti itu, Salma pasti gampang menjadi sasaran. Apalagi ia mau pergi ke Afghanistan, bisa-bisa kena tuduhan ada hubungan dengan jaringan Alkaidah. Tapi, bagaimana aku dapat mencegahnya, karena dia 'manusia bebas' yang memiliki pikiran dan rencana sendiri.
Setelah kepergiannya, aku benar-benar merasa kehilangan. Ini agak aneh, karena aku belum lama mengenalnya dan baru dua kali sempat berbicara. Itupun hanya beberapa menit saja. Wajahnya yang ditutup cadar pun belum kukenal sepenuhnya. Yang kukenal baru mata beningnya yang kebiruan bagai telaga, suaranya yang lembut, kecerdasannya, dan misteri cahaya di kepalanya. Selebihnya, barulah ilusi kecantikan di balik cadarnya. Ah, mungkin aku telah jatuh cinta pada pandangan pertama, pikirku. Aku sangat merindukannya. Berhari-hari, bermingu-minggu, aku menunggu kabar kepulangannya.
Kekhawatiranku memuncak, ketika terjadi penangkapan terhadap beberapa demonstran anti-AS di halaman masjid Al Azhar -- dua di antaranya mahasiswi bercadar asal Indonesia. Aku khawatir Salma ada di antara mereka. Siapa tahu, ia pulang secara diam-diam dan langsung ikut demonstrasi. Apalagi, tampak pada layar televisi Mesir yang menyiarkannya, salah seorang gadis bercadar yang tertangkap itu sangat mirip Salma. Aku segera meluncur ke kantor polisi. Tapi, syukurlah, ternyata bukan.
Yang membuatku lebih khawatir adalah ketika terjadi penangkapan terhadap para demonstran anti-AS di London sehari kemudian, karena di televisi disebut-sebut bahwa beberapa di antaranya adalah 'penyusup' dari Afrika Utara. Aku yakin Salma ada di sana. Jika benar ia memang aktifis internasional, dengan gampang ia akan masuk ke suatu negara, bahkan dengan paspor palsu sekalipun.
"Tolong, Pak, mohon informasi, apakah di antara yang tertangkap tadi ada yang namanya Salma Audina, mahasiswi Al Azhar asal Bandung?" tanyaku pada salah seorang staf KBRI di London.
Aku ingin segera tahu apakah di antara yang ditangkap itu ada Salma. Tapi, tidak segera mendapat jawaban, karena pihak KBRI belum mendapat laporan resmi dan baru akan dicek ke kepolisian setempat. Syukurlah, tiga hari kemudian aku mendapat jawaban bahwa tidak ada nama Salma Audina pada daftar nama pengunjuk rasa yang ditangkap. Juga tidak ada penyusup dari Mesir, selain dua gadis berdarah Arab kelahiran London.
Tetapi, berita yang paling menakutkan tiba-tiba datang dari Afghanistan. Sebuah toko buku di Kabul, yang sedang ramai pengunjung, terkena ledakan bom, 11 orang tewas dan dua di antaranya gadis asal Indonesia. Dengan rasa was-was aku segera mencari nama gadis-gadis itu pada berita-berita di surat kabar Mesir, barangkali ada nama gadis bercadar itu di sana. Dan, betul, menurut kantor berita AFP yang dikutip beberapa surat kabar Mesir, salah satu korbannya adalah Miss Audina, seorang mahasiswi asal Indonesia, yang baru tiga hari tiba dari London. Pada foto yang terpampang, cadar Salma sudah terkoyak. Mata birunya terkatup di bawah garis jilbab yang hampir menyentuh alisnya. Ada bercak-bercak darah pada pipi, mulut dan hidungnya. "Innalillah..., Salma, kenapa kau begitu cepat pergi...," gumamku.
Aku merasa sangat terpukul membaca berita itu. Rasanya seperti ada yang hilang dari diriku: harapan. Ya, harapan untuk memilikinya. Sebagai sesama perantau yang mencari ilmu di negeri orang, tentu sudah sewajarnya aku merasa berduka. Apalagi ia mati konyol akibat teror bersenjata yang membabi buta. Aku tidak tahu, siapa yang harus dikutuk, AS yang memperlakukan dunia secara tidak adil, atau Osamah ben Laden yang memilih teror sebagai jalan penyelesaian karena ketidakberdayaannya melakukan perang secara terbuka.
Tapi, yang kurasakan saat itu benar-benar lebih dari sekadar berduka. Aku seperti merasa kehilangan seorang kekasih atau keluarga terdekat, dan hatiku terasa sangat tersayat. Segera kuhubungi imam masjid Al Azhar untuk melaksanakan shalat ghaib bagi Salma. Kawan-kawan mahasiswa dan alumni Al Azhar asal Indonesia pun kukumpulkan untuk melaksanakan shalat ghaib dan mengirim doa bagi arwahnya. Atas nama KBRI kukirim juga telegram bela sungkawa kepada keluarganya di Bandung.
Dan, karena telegram itu, tiba-tiba telepon di mejaku berdering. ''Assalamu 'alaikum. Bisa bicara dengan Pak Imran?'' 
''Ya, saya sendiri. Ini siapa?'' 
''Ini Salma.'' 
''Aduh Salma. Kawan-kawan mengira kamu tewas jadi korban ledakan di Kabul. Sebab, ada korban yang namanya Audina." 
"Itu bukan Salma. Saya baik-baik saja di Bandung. Saya tak jadi ke Kabul . Minggu lalu saya dari London langsung ke Bandung .... Salam ya, untuk kawan-kawan. Saya jadi pindah kuliah ke Jerman. Besok pagi saya berangkat ke Berlin , tidak sempat mampir Kairo...!"
Aku merasa lega karena Salma masih hidup. Tapi tetap saja merasa kehilangan, karena kepindahan kuliahnya itu. Rasanya aku harus terbang ke Berlin juga untuk meraih cintanya. Sungguh, aku tidak ingin kehilangan purnama di balik cadarnya!
Kairo-Jakarta, 2002/2012

Badai Laut Biru

SIANG  itu sangat terik. Matahari membakar pantai berpasir hitam hingga terasa membara. Tiang-tiang layar perahu bagai gemetaran dipermainkan angin dan ombak, hingga perahu-perau tua itu bagai menari-nari di bibir pantai. Namun, kehidupan para nelayan terus berjalan, dalam rutinitas, mengikuti kehendak sang alam.
Di atas pasir hitam, tak jauh dari sebuah perahu yang terus menari, Kardi mengemasi bekal-bekal pelayaran, jala dan kail, juga keranjang-keranjang ikan, lalu menaikkannya ke geladak perahunya. Tiba-tiba ombak besar menghantam dinding perahu, sehingga terguncang keras. Kardi yang sedang berpegang pada bibir perahu hampir terpental.
Karena guncangan itu, keranjang-keranjang yang dia tenteng terlepas dan hanyut terseret ombak. Dengan cepat Kardi mengejarnya dan berhasil meraihnya. Tapi sial, yang tertangkap hanya satu keranjang yang paling kecil. Dengan cepat dan sekenanya dia melemparkan keranjang itu ke perahu, sehingga hampir saja mengenai kawannya yang sedang berdiri di geladak, merapikan letak tali layar perahu dan jaring-jaring ikan.
Melihat Kardi kepayahan, lelaki di geladak itu, Salim, dengan tangkas meloncat ke arah Kardi dan mengambil alih keranjang-keranjang yang dibawanya. Setumpuk keranjang yang kokoh itu memang terasa berat karena basah. Sampai di dinding perahu tubuh Kardi sudah hampir lunglai. Salim melemparkan tumpukan keranjang itu ke geladak lalu dengan kedua tangannya yang kekar dia mengangkat tubuhnya dan meloncat ke geladak. Kardi sudah tidak kuat mengangkat tubuhnya sendiri. Salim kembali membantunya, menarik tangan Kardi sampai berhasil naik ke geladak.
"Pelaut macam apa kau! Baru begitu saja sudah mau pingsan," ejek Salim. Kardi hanya tersenyum pahit sambil terus merebahkan tubuhnya di pinggir geladak.
Perahu mereka sesungguhnya sudah sangat tua. Umurnya kira-kira seusia kapten mereka, Pak Ruslan, yang sudah mengawaki perahu itu sejak 20 tahun lalu. Berawak sembilan orang. Enam orang lelaki dewasa, dua orang anak lelaki dan seorang gadis-anak Pak Ruslan-sebagai tukang masak. Panjang perahu kira-kira dua puluh dua meter dengan lebar kira-kira enam meter. Memiliki layar putih yang sudah mulai kecokelatan dan sudah banyak tambalannya, namun mereka belum sempat menggantinya dengan layar yang baru.
Kardi masih berbaring di pinggir geladak ketika ombak semakin ganas menghantami dinding perahu. Dia bagaikan tidur di pinggir ayunan yang lebar dan hangat, membiarkan panas matahari menyengati kulit tubuhnya yang cokelat kehitaman. Seolah dia sudah biasa dibakar sinar matahari seperti itu. Dia sudah tidak pernah lagi ingin memiliki kulit tubuh yang kuning seperti ketika masih sekolah di SMA dua tahun yang lalu.
Kardi masih ingat betul ketika itu memiliki kulit tubuh yang kuning dengan perawakan tinggi dan wajah simpatik. Dia masih ingat betul, ketika itu diperebutkan beberapa gadis yang tergolong berwajah cantik. Dan, dia masih ingat betul ketika berpacaran dengan gadis keturunan Tionghoa, teman sekelasnya. Namun, semuanya telah berlalu bersama kegagalannya meraih cita-cita masuk Akabri. Bersama hilangnya warna kuning kulitnya. Direnggut sang waktu.
Selama dua tahun dia pun berusaha mencari pekerjaan yang layak sesuai dengan ijazahnya, namun hasilnya nihil. Kemudian atas anjuran ayahnya, Kardi ikut menjadi awak perahu milik sang ayah sampai sekarang. Kini dia pasrah saja pada kehendak alam, kehendak sang nasib, kehendak waktu. Akan menjadi apa dia kelak, akan seperti apa kulit tubuhnya, dia pasrah saja. Sedangkan Salim adalah anak pamannya yang bernasib sama, gagal masuk perguruan tinggi negeri dan gagal mencari pekerjaan kantoran.
"Angkat sauh, kita akan segera bertolak!" seru Pak Ruslan dari haluan.
Kardi kaget dan segera bangkit. Dia melihat seseorang telah terjun ke air dan segera melepaskan tali perahu yang terikat pada tonggak di bibir pantai. Kardi segera membantunya dengan menarik tali itu dan menaikkannya ke geladak. Di cakrawala utara tampak mendung hitam bergumpalan. Angin bertiup sedang dari arah barat laut. Tapi, matahari masih tampak bersinar, condong ke ufuk barat.
Dayung-dayung berkecimpung dan perlahan-lahan perahu tua itu meninggalkan daratan melaju ke arah timur laut, semakin ke tengah dan terus ke tengah.
"Kembangkan layar! Angin sudah mulai lambat dan akan berganti arah," teriak Pak Ruslan.
Seorang awak perahu memanjat tiang layar, melepaskan tali pengikat. Salim bersama seorang awak perahu yang lain melepaskan tali layar bagian bawah, Kardi siap dengan merentangkan tali layar membentang ke haluan. Perlahan-lahan layar pun mengembang lalu tertiup angin ke samping kanan. Parahu menjadi tidak seimbang dan miring. Dengan refleks para awak perahu mencari keseimbangan.
"Belokkan haluan ke kanan!" teriak sang kapten lagi.
Juru mudi segera menekankan sirip kemudi melawan arus air di sebelah kanan ekor perahu. Kardi dan Salim membetulkan letak layar dengan menarik tali-talinya. Perahu pun perlahan-lahan membelok 60 derajat ke kanan, kemudian melaju dengan tenang.
Jala-jala yang berwarna biru tua mulai diturunkan. Begitu pula beberapa kail yang telah disiapkan. Kail-kail itu masing-masing diberi pengapung sepotong kayu agar tidak tenggelam ke dasar laut. Jarak antara pengapung dan kail sekitar satu meter. Masing-masing diberi umpan sepotong ikan kecil. Biasanya ikan belanak atau udang. Apabila ada ikan yang memakan umpan, kayu pengapung akan terlihat tertarik-tarik timbul tenggelam di permukaan air itu tertarik menurut larinya ikan.
Tarikan dan gerakan pengapung itu kadang-kadang cepat dan keras, kadang-kadang lemah dan perlahan, tergantung pada jenis dan besar kecilnya ikan. Ikan kakap biasanya menarik umpan dengan cepat dan keras. Ikan tongkol dan ikan tengiri suka memakan umpan dengan menghentak-hentakkannya ke bawah. Semakin besar ikan yang memakan umpan, akan lebih pelan gerakannya, namun terasa lebih berat dan mantap.
Jala-jala yang dipasang di kanan kiri perahu biasanya diangkat seperempat jam sekali, atau sewaktu-waktu bilamana perlu. Sedangkan jala-jala lempar akan dilempar sekali-sekali atau berkali-kali apabila diperkirakan perahu sedang berada di daerah yang banyak ikannya. Seorang nelayan yang sudah berpengalaman dapat membedakan mana air yang banyak mengandung ikan dan mana yang tidak, yang dapat diketahui dari gerak airnya.
*
Perahu tua itu masih melaju dengan tenang sebab belum sampai di daerah sarang ikan yang mereka tuju seperti hari-hari kemarin. Pada saat demikian para awak perahu dapat beristirahat sebentar untuk melepaskan lelah. Kardi dan Salim duduk di emper gubuk perahu, memandang langit yang tampak kebiruan di celah-celah awan putih dan hitam, Matahari timbul tenggelam di balik awan. Mereka mengalihkan pandangan ke laut yang semakin tampak biru. Ikan-ikan kecil banyak berloncatan di kanan kiri perahu. Loncatan ikan yang tinggi kadang-kadang masuk ke geladak perahu.
Kardi mengambil sebungkus rokok dari saku celanannya lalu menawarkannya kepada Salim. Salim melolos sebatang, dan dijepitkan di belahan bibirnya.
"Tumben kau membawa jarum super!"
" Kan kemarin dapat hasil banyak," sahut Kardi seenaknya. Mereka berdua menyulut rokok, mengisapnya dalam-dalam lalu menghembuskan asapnya. Sampai di udara asap rokok itu buyar di koyak-koyak angin laut.
"Kalau hasil kita begitu terus enak, ya."
"Ya, hidup kita bisa sedikit senang. Tapi sekarang panen ikan baru seminggu saja sudah abis, dan hasil kita tidak selalu banyak. Dulu, sebelum ada pukat harimau, panen ikan dapat kita nikmati sampai kira-kira tiga bulan. Waktu itu hasil tangkapan kita dapat untuk membeli apa-apa. Sedangkan sekarang dapat kau lihat sendiri. Kita semakin melarat saja. Untuk membeli perlengkapan perahu saja sangat sulit," keluh Kardi.
"Sekarang kan sudah ada undang-undang yang melarang pukat-pukat harimau beroprasi di daerah kita."
"Ya, tapi apa gunanya undang-undang kalau perampok-perampok ikan itu masih dapat dengan bebas dan seenaknya saja beroperasi di daerah kita."
"Apakah kita tak pernah lapor tentang pelanggaran-pelanggaran mereka?"
"Sampai bosan, Lim. Tapi tak ada hasilnya. Kita bahkan semakin jengkel saja. Teknologi modern kadang-kadang bahkan menjadi alat penindas rakyat kecil. Dan sulitnya lagi kita hidup di negara yang hukum dan undang-undangnya belum menjadi kesadaran yang penuh."
"Kau sudah mendengar tentang perkelahian antara nelayan kecil melawan nelayan pukat harimau di pantai Jepara yang berakhir dengan tragedi pembunuhan?"
"Itu persoalannya juga seperti yang kita alami. Siapa orangnya yang tidak jengkel kalau sumber pangannya dirampok oleh orang lain? Kalau kita tidak sabar-sabar mungkin sejak dulu-dulu kita sudah bentrok dengan para perampok itu."
"Ya, Di. Aku pun merasakan hal itu. Tapi, situasi hanya semakin membuat kita tidak berdaya."
"Itulah, Lim. Situasi hanya semakin memojokkan kita sehingga kita semakin tidak berdaya, kecuali hanya memendam kejengkelan yang semakin mendalam."
Tidak terasa dua batang rokok telah mereka habiskan. Perahu masih melaju dengan tenang. Mendung hitam semakin banyak bergumpalan di langit.
"Kau tidak lapar, Lim?"
"Lapar sih lapar, tapi itu dewimu belum selesai memasak. Rukmi, sudah masak belum? Ini Romeomu suda kelaparan!" Salim berolok-olok, Kardi cuma senyum-senyum saja.
"Sebentar lagi!" teriak Rukmini dari dalam gubuk.
Akhir-akhir ini Salim dapat mengetahui adanya hubungan batin antara Kardi dan Rukmini. Salim sering melihat pada saat-saat senggang Kardi dan Rukmini duduk berdua di buritan atau di emper gubuk. Salimpun dapat menangkap bahwa Rukmini selalu memberikan pelayanan yang istimewa kepada Kardi. Meskipun kadang-kadang dengan agak malu-malu. Secara tak sengaja Salim pernah memergoki Kardi sedang mencium Rukmini di belakang gubuk perahu seperti Slamet Raharjo mencium Christine Hakim dalam film Cinta Pertama yang pernah mereka tonton. Mesra dan lembut.
"Lim, menurutmu Rukmini itu bagaimana?"
"Cakep. Hitam manis," jawab Salim singkat.
"Ya, tentu saja hitam manis. Mana ada gadis nelayan yang kuning langsat seperti model iklan bedak di tivi."
"Ada saja."
"Siapa?"
"Gigimu."
"Bah! Memangnya gigimu selalu kau pepsodent. Aku serius lho, Lim. Maksudku, aku cocok tidak dengan dia?"
"Cocok sekali. Tir pada irenge sir pada jalitenge . Ya, sama-sama hitamnya. Kalau menjadi satu semakin kelam seperti kepala kereta api kuno."
"Jangan berkelakar, Lim. Ini sungguh-sungguh."
"Memangnya aku tidak sungguh-sungguh."
"Begini Lim, umurku dua puluh dua tahun, sedangkan umurnya baru enam belas tahun."
"Selisih enam tahun. Selisih umur yang bagus untuk suatu perkawinan."
"Kau sok tahu saja."
Salim tertawa kecil.
*
Perahu mulai memasuki daerah sarang ikan. Para awak perahu mulai sibuk melayani alat-alat penangkap ikan. Kardi dan Salim menceburkan diri ke dalam kesibukan itu. Ada sebuah Pukat Harimau yang sedang beroprasi di situ. Padahal daerah itu termasuk daerah terlarang bagi pukat harimau. Ketika kedua perahu itu berdekatan, Pak Ruslan bertepuk tangan dengan keras lalu mengacungkan kepalnya dengan maksud agar sang pukat harimau segera menyingkir dari tempat itu. Rupanya sang pukat harimau tahu diri. Perahu itu segera menyingkir ke tengah.
Para awak perahu Kardi semakin sibuk dengan ikan-ikan yang tertangkap jala dan kail mereka. Dua keranjang sudah hampir penuh ikan. Dalam kesibuk-an itu tiba-tiba mereka dikejutkan oleh pukat harimau tadi yang melaju dengan cepat dari timur laut ke arah perahu mereka. Pak Ruslan segera berdiri dan menanti apa maksud perahu itu. Ketika sang pukat sudah sangat dekat dengan perahu Kardi, seseorang yang sedang berdiri di haluannya berteriak keras, "Cepat tinggalkan tempat ini! Pesawat radar kami mengisyaratkan bahwa badai akan melanda tempat ini!"
Pak Ruslan hampir tidak percaya dengan berita itu. Kardi menatap langit. Langit telah berubah menjadi kelam dengan medung hitam yang bergumpalan tebal berarak ke selatan. Langit seperti mau runtuh. Pak Ruslan segera melihat berkeliling. Dia melihat tanda-tanda yang aneh. Laut di sekeliling perahunya tampak tenang tanpa ombak sedikitpun. Bagai laut mati. Dia yang sudah berpengalaman segera memberi perintah: "Cepat kita tinggalkan tempat ini! Badai betul-betul akan datang!"
Para awak perahu bagai tersentak. Semua segera kembali ke bagiannya masing-masing. Haluan diputar. Kemudian dengan dibantu dayung-dayung, perahu segera dilaju ke barat daya. Namun terlambat. Suara gemuruh sekonyong-konyong datang dari arah timur laut.
Angin mendadak menerpa sangat keras, disertai ombak yang semakin besar menghantami dinding perahu mereka tanpa kenal ampun. Perahu tua itu terguncang-guncang keras. Dengan susah payah mereka menggulung layar untuk menghindari amukan angin. Tapi angin kencang lebih kuat menghantamnya. Layar tua itu terkembang kembali dengan keras bagai dihentakkan. Perahu hampir terbalik. Dan "kreeekk," layar tua itu robek. Perahu terayun-ayun keras bagai sepotong papan yang tak berarti, lalu perlahan-lahan miring ke kanan dan seluruh isi geladak tiba-tiba terlempar ke laut.
Pak Ruslan dengan sigap melemparkan ban-ban dan pelampung. Kardi terbanting ke geladak dengan keras ketika sedang berusaha mengambil sebuah ban yang tergantung di ujung buritan. Rukmini dengan wajah pucat berpegang erat pada tinag pintu gubuk. Ia mejerit keras ketika tiang layar di depannya patah diterjang angin dan terempas ke buritan. Dan, "brruuuaaakk!" gubuk reyot di atas perahu itu pun dihempaskan angin dan roboh menghantam dinding parahu.
Bersamaan dengan itu, Pak Ruslan yang masih berpegangan pada dinding perahu berteriak keras: "Selamatkan diri kalian masing-masing. Perahu akan terbalik. Bersamaan dengan itu pula Kardi meloncat ke laut. Namun, begitu mendengar jeritan Rukmini, dia segera berbalik dan merangkak naik kembali ke perahu. Separo tubu Rukmini tertindih pagar yang roboh tadi. Kardi mengangkat pagar itu. Rukmini merangkak keluar. Seluruh tubuhnya sudah basah kuyup.
Pada detik-detik yang menegangkan itu, dengan cepat Kardi menarik tubuh Rukmini untuk bersama-sama meloncat ke laut yang bergelombang besar. Ketika keduanya masuk ke air, Rukmini terlepas dari pegangannya dan tenggelam ditelan ombak. Dengan mata dan tangannya dia mencari-carinya. Sepintas dia melihat perahunya terbalik. Pada saat terakhir itu Pak Ruslan meloncat ke laut. Semuanya berlangsung dengan sangat cepat.
Kardi melihat Rukmini muncul dari dalam air dengan gelagapan. Dia cepat-cepat mengejarnya dan dia berhasil mengepit tubuh Rukmini dengan tangan kirinya. Lalu berenang dengan susah payah. Rukmini lemas.
"Aku tidak bisa berenang lagi, Mas. Rasanya kakiku ada yang patah."
"Kuatkan hatimu, Rukmi. Berdoalah semoga badai segera reda dan pertolongan segera datang."
"Tubuh Kardi juga semakin lemas. Dia hanya dapat berusaha untuk mengambang saja di permukaan air. Untung badai semakin reda. Namun dia menyadari bahwa kekuatannya sangat terbatas. Mungkin sebentar lagi tenaganya habis dan tentu saja akibatnya sangat fatal kalau pertolongan tidak segera datang. Kardi ngeri memikirkan itu. Matanya mencari-cari kalau-kalau ada kayu atau ban yang terapung di sekitarnya yang dapat digunakan untuk tempat bertumpu.
Pada saat itu Pak Ruslan juga sedang berjuang mati-matian. Dengan susah payah ia berhasil menjebol selembar papan geladak perahu yang telah terbalik dan dengan selembar papan tersebut dia bermaksud mencari anaknya.
"Kardi. Rukmini. Syukurlah kalian masih hidup. Papan ini hanya cukup untuk kalian berdua. Pakailah." Pak Ruslan memberikan papan itu pada mereka.
"Pak Ruslan bagaimana?"
"Jangan pikirkan diriku yang sudah tua begini. Kalian masih punya harapan hidup yang panjang. Selamatkan anakku!"
Pak Ruslan meninggalkan mereka, berenang menembus ombak, dan hilang dari pandangan mereka. Melihat itu, Rukmini menelungkupkan mukanya ke atas papan dan menangis sejadi-jadinya.
*
Sekitar setengah jam kemudian, badai benar-benar reda dan laut pun kembali tenang. Kapal pukat harimau tadi mendekati mereka dan mengangkat keduanya. Sampai di geladak keduanya pingsan.
Seperempat jam kemudian Kardi membuka matanya. Salim sudah berjongkok di sampingnya sambil tersenyum-senyum. Rukmini juga terbangun dan duduk bersandar pada dinding perahu.
"Oh, Lim. Di mana kita sekarang?"
"Di atas pukat harimau. Kita tidak jadi masuk akherat."
"Di mana Pak Ruslan dan yang lain?"
"Jangan khawatir. Semuanya selamat. Cuma kau dan dewimu yang pingsan. Maklum, kalian memang bukan pelaut sejati."
"Kalau tadi Pak Ruslan tidak memberikan selembar papan kepada kami entah kami sudah jadi apa. Mungkin telah tenggelam berdua dimakan hiu. Dia memang betul-betul seorang kapten yang bertanggung jawab."
"Ya.... Untung tadi aku kebagian sebuah ban. Nah, sekarang kusarankan padamu. Cepat-cepatlah nikahi Rukmini. Jangan berpacaran di tengah laut lagi, agar tidak dikutuk Dewa Laut seperti tadi."
Kardi cuma tersenyum kecut. Rukmini tersipu-sipu. Dengan cengar-cengir Salim lantas meninggalkan mereka menuju buritan.
Yogyakarta , 1979/2004/2012

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Web Hosting Coupons